"Aku berangkat, Mama."
Kalimat yang sama, tetapi mendapat respons yang berbeda 180 derajat. Seperti hari biasanya, papa berangkat pagi-pagi. Sementara itu, mama yang sudah bersiap di depan pintu depan tengah membenarkan sepatu beralas rata, melemparkan tatapan kebingungan. "Mama saja yang antar, tidak mau?"
Jujur saja, itu sangat mengejutkan. Kantor mama berada di arah yang berlawanan dengan sekolah. Jadi, siapa yang akan mengharapkan kalimat itu dari orang yang biasanya akan paling panik melihat jarum detik berlari kencang. Apalagi jika jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh menit.
Mama segera menyuruh naik tanpa merasa perlu mendengar jawabanku. Entah karena sudah bisa menebak, atau tidak mau mendengar penolakan. Setelah semua kejadian tak terduga kemarin, kurasa mama tidak banyak berubah. Dia tetap sama, disiplin dan tidak goyah karena apa pun.
"Hari ini, mama masuk kantor jam tujuh tiga puluh. Maksimal lima belas menit untuk sampai sekolahmu, dan dua puluh menit untuk sampai di kantor. Kalau tidak macet, mama sudah tiba lima belas menit lebih awal." Hanya itu yang mama paparkan sebelum akhirnya menyerahkan celah keheningan kepada siaran radio pagi. Aku hanya mengangguk pelan, tidak mau membuat masalah dengan merusak fokusnya dalam mengemudi.
Aku masih tidak habis pikir. Bagaimana bisa Poppy menyusun rencana semulus itu untuk membuat mama hadir di kontes? Tadi malam, ia hanya mengatakan jika semua berkat bujukan papa. Selebihnya dia benar-benar membuat otakku menyusun kronologi lanjutannya sendiri dengan dugaan yang jauh lebih tak masuk akal.
Di tengah suara mesin serta ujaran penyiar radio yang bekerja sama untuk menghancurkan keheningan, aku tiba-tiba teringat akan pertemuan kembali dengan ayah. Tidak seperti mama, sikap pria itu tampak berubah sangat banyak. Dalam segi penampilan dia masih tampak seperti dulu. Masih terlihat tampan.
"Orang yang sudah merusak masa kecilmu, benar-benar tidak pantas muncul begitu saja. Bahkan awalnya ayah kira kamu tidak akan kenal ayah lagi. Kamu sepertinya dapat pengganti yang lebih baik. Tidak seperti ayah yang gagal menjadi orang tua. Kamu tahu, ayah benar-benar menyesal. Itu kenapa ayah sering melihatmu dari jauh sepulang les."
"Dita juga rindu padamu, Yah." Aku menghela napas panjang. Di antara emosi yang meluap-luap setelah disimpan bertahun-tahun, hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan. Ayah tampak tercengung mendengarnya. Bahuku direngkuh mendekat hingga ia dengan mudah mengecup puncak kepalaku.
"Dulu ayah kira kamu akan jadi seperti ibumu, tapi ternyata tidak. Siapa sangka kamu malah jadi musisi. Pianis pula." Aku ikut tertawa renyah. Yah, seharusnya itu bukan hal mengherankan lagi. Aku mewarisi separuh kecerdasan dari musisi hebat seperti ayah.
Panggilan dari Rangga memutus momen tak terduga itu. Karena merasa tidak enak membuat mereka menunggu, dengan sedikit terpaksa aku berpamitan dengan ayah. Berharap masih ada kesempatan di hari-hari berikutnya. "Datanglah kapan pun, kalau ibumu tidak marah," kata ayah setengah berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Ficção AdolescenteBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...