Lima hari berlalu sejak aku memainkan piano di ruang musik karena menuruti intuisi, kemudian Bu Dini mengajak berbicara secara personal di ruang guru. Rangga tak pernah sekalipun bicara soal kontes itu lagi. Sehingga, aku pun menjadi yakin bahwa dia telah menemukan pengiring yang lebih baik.
Beberapa hari juga telah membawa pergi sebagian kekhawatiran soal hasil tes. Aku masih rutin mengikuti latihan dengan tenang bersama yang lain. Namun, cemas kembali muncul ketika menyadari fakta bahwa sewaktu-waktu Mama bisa saja membahas masalah itu sepulang dari kantor.
“Akhirnya mereka tau juga rasanya dikalahin tim lain, terus diceramahin pelatih.” Poppy begitu antusias menceritakan setiap detail dari kegiatan latihan voli kemarin. Sungguh berbeda dengan beberapa waktu lalu, sekarang ia bahkan rela mentraktir sebotol minuman di kantin. Ini ungkapan syukur, begitulah ia menjawab keherananku.
Semenjak kekalahan mereka, Poppy dan timnya merencanakan sebuah strategi serangan balasan yang tidak pernah dibayangankan oleh tim lelaki. Mereka berencana menurunkan posisi net agar sesuai untuk tim perempuan. Benar saja. Mereka berhasil unggul di detik-detik terakhir. “Cowok-cowok itu memang tinggi. Tapi enggak ada yang selincah dan segesit anggota timku.”
Aku mengangguk-angguk, turut senang mendengar berita itu. Sesuai kesepakatan, tim Poppy tidak balas mengejek. Tim laki-laki pun mengakui kesalahan dan memutuskan berdamai. Sungguh akhir yang indah. Dengan begini, tidak perlu khawatir perang akan muncul dari gesekan kecil antara kedua tim.
“Rangga, kamu ke ruangan saya!” Seruan seorang pria jangkung di ambang pintu menginterupsi kegiatan siswa yang bersiap-siap keluar kelas. Yang dipanggil namanya tampak santai seolah ia ingin menunggui kelas sampai esok pagi. Tanpa menampakkan perasaan bersalah ia bangkit dan mengikuti langkah guru yang usianya ternyata belum genap tiga puluh itu.
Kulirik Poppy yang menggeleng pelan lalu kembali mengalihkan perhatian pada alat tulis di laci meja. “Keterlaluan. Kerjanya cuma bikin malu,” ia mendengus samar-samar sembari menarik resleting tas. Aku memilih untuk tidak berkomentar. Pasti rasanya benar-benar kesal kalau ada di posisi itu.
Tidak sampai satu menit, suara hak sepatu beradu dengan lantai kembali terdengar. “Aya, bisa kita bicara?” Bu Dini yang sepertinya baru keluar dari kelas sebelah barhasil mencuri perhatian dari para penghuni kelas, yang sesaat kemudian secara hampir bersamaan berbalik menatapku.
Dipandang seperti itu malah membuat bulu kuduk berdiri. Aku mengernyit, mundur selangkah.Aku sama sekali tidak membuat masalah.
“Pergi saja. Mungkin Bu Dini mau menberimu les privat melukis,” bisik Poppy yang menjadi satu-satunya orang yang tidak menatap aneh untuk saat ini. Aku bisa merasakan adanya unsur ejekan dalam kalimatnya. “Tenang aja, Aya. Aku percaya kamu bukan pembuat masalah kayak cowok yang satu itu,” lanjut sahabatku sembari mencangklong tas, sementara gerakan siswa lain tetap membeku.
Aku menarik napas panjang kemudian menjinjing tas, menuruti permintaan guru seni budaya itu. Baru setelah kami keluar dari ruangan, siswa lain kembali bergerak dan melangkah keluar kelas setelah hampir selama lima menit tertahan. Aku melirik sekilas, beberapa di antara mereka ada yang berbisik-bisik seraya menatap ke arahku.Namun, aku lebih memilih pura-pura tidak tahu.
Bu Dini terus berjalan tanpa membuka percakapan. Dia hanya sesekali menyapa dan berbasa-basi dengan guru serta staf lain, juga beberapa siswa yang berpapasan dengan kami. Hal itu membuatku ragu untuk bertanya langsung apa yang membuat ia memanggil langsung ke kelas, bukan lewat pengeras suara. Baru setelah sampai di tempat yang masih agak sepi, ia berhenti kemudian membuka pintu.
“Saya benar-benar senang akhirnya kamu berubah pikiran.” Aku terheran. Bukan karena ucapan Bu Dini, melainkan sesuatu yang ada di balik pintu kayu tersebut.
Ruang musik, apa-apaan ini? Berubah pikiran? Kapan aku berkata begitu? Ribuan pertanyaan berseliweran dalam benak hingga tidak sadar aku sudah terbengong hampir satu menit.
Bu Dini menepuk pundak, menyadarkan kembali dari lamunan. “T-tapi … saya …,” ucapku gelagapan. Wanita itu memasang wajah bersahabat, berjalan menuju salah satu sudut ruangan kemudian membuka tuts piano yang tampak sedikit berdebu itu.
Dia kembali berjalan ke arahku dengan membawa beberapa kertas musik. “Karena kelulusan angkatan dua tahun lalu, dan pembatasan kegiatan ekstrakurikuler untuk siswa kelas dua belas, klub ini jadi kehilangan banyak anggota berpotensi. Tiga orang di antaranya adalah pianis, anggota paling berdedikasi untuk klub ini. Anggota klub ini sekarang sebagian besar lebih tertarik pada keyboard. Itulah kenapa, piano ini selalu menganggur sampai harus dipindahkan ke pinggir, saking jarangnya digunakan.”
Beliau mengangguk pelan sembari menatap lantai, tersenyum hambar. “Yah, saya tidak bisa memaksa mereka, begitupun kamu. Saya juga tidak bisa menahan kalau pihak sekolah mau menjual piano ini karena tidak pernah digunakan, dan hanya menambah anggaran untuk pemeliharaan. Tetapi karena kamu berubah pikiran, mungkin pihak sekolah akan mempertimbangkan lagi keputusan itu.”
Tanpa sadar, sejak tadi rahang bawahku sedikit turun. Untung saja tidak ada angin kencang yang membuat debu masuk ke tenggorokan. “Seujujurnya, saya juga agak prihatin mendengarnya.” Mataku tertuju pada piano yang terdiam di sudut ruangan, diselimuti debu halus. “Tetapi … saya tidak yakin soal masuk klub ini ….”
“Hari ini anak-anak klub musik sedang tidak latihan.” Bu Dini menyodorkan kertas musik yang sejak tadi berada dalam genggamannya. “Kemampuan bisa kita asah. Karena sebenarnya yang terpenting adalah kemauan. Tetapi untuk kali ini, tolong tunjukkan kemampuan terbaikmu. Setelah ini, kamu boleh langsung pulang.”
Aku terdiam, memang sejak awal tidak meniatkan diri segera pulang. Apakah ini adalah semacam tes masuk? Apa yang harus kulakukan sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Novela JuvenilBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...