"Lebih baik aku lenyap saja." Kalimat itu berkali-kali diulanginya. Pola gerakan kaki itu seolah memberi bukti bahwa tak lagi rasa peduli jika beberapa detik lagi ia akan menabrak siswa lain, bahkan truk sekali pun. Harus pergi sebelum seseorang melihat beberapa tetes air mata yang lolos dari pelupuk mata, hanya itu yang ada di pikirannya.
Ia ingin menjerit, menentang langit sore yang tampak cerah – seakan tak acuh pada perasaan yang menggerus batinnya. Namun, itu sama saja dengan membuat seluruh dunia menyadari tangisan tertahan itu. Dasi abu-abunya mulai tampak kusut sebab diremas-remas sedari tadi.
Hati memang hal paling membingungkan dalam alam semesta. Satu kata saja mampu membangkitkan rasa sakit fisik, lantas membuat manusia lupa pada segalanya adalah hal sederhana. Dalam perasaan tidak karuan, Aya terus berlari tanpa benar-benar peduli pada arah mata angin. Ketika ia sadar, rumah yang terpisah beberapa kilometer dari sekolah sudah ada di depan mata.
"Sudahlah, anak Papa jangan nangis lagi. Nanti cantiknya luntur."
Terlambat, sudah tak terhitung berapa kali cairan bening itu jatuh membasahi tanah. Gadis itu berlari menaiki tangga, setelah membanting keras pintu depan. Tas serta buku catatannya tertinggal di depan rak sepatu. Tidak peduli. Perasaan yang tak ia mengerti mulai menguasai setiap gerak-geriknya.
"Jangan gitu dong. Anak baik tidak pernah dendam, kan?"
Aya terisak. Di matanya yang kini tampak memerah, dua orang yang sudah ia anggap sebagai teman – bahkan mungkin lebih dari itu – tampak seperti pengkhianat. Demi apa pun, sungguh ia tak ingin membenci. Namun, kalbunya seakan sudah terlalu perih untuk sekadar memberi maaf.
"Papa tau kamu marah. Tapi, maafkan saja, ya, Sayang."
Justru sekarang hatinya sakit karena berusaha memaafkan. Semuanya terbalik.
"Ayo senyum. Anak Papa harus kuat. Orang akan ikutan sedih kalau kamu nangis."
Aya menangkupkan wajah dengan bertumpu di atas fall board, menjerit tanpa terdengar siapa pun. Pita suaranya seakan telah berhenti bekerja, kecuali untuk membuat bunyi parau. Setiap kali ia mencoba menekuknya, ujung bibirnya terus-menerus bergetar.
"Aya Sayang, pokoknya kamu harus jadi anak baik, ya."
Senyum hangat pria itu terus terbayang dalam benaknya. Ia mengangkat fall board. Sedetik kemudian jemarinya dengan cepat menghunjam sepuluh tuts secara bersamaan, berkali-kali. Mendongak menatap bayangan jingga di langit-langit, menjerit tanpa suara.
"Maaf, Papa. Aku ini bukan anak baik."
Suara sumbang piano mencoba bicara memecah kesunyian. Hatinya hangus dalam kebisuan.
------x---x------
"Tapi aku enggak tertarik sama dia. Dia itu terlalu naif. Dia bahkan enggak bisa bedain siapa yang bener-bener baik, sama siapa yang cuma mau manfaatin dia," ujar pemuda itu setengah berteriak. Sama sekali tidak menyadari jika orang yang dibicarakan sedang memandang bingung seraya meremas dasi abu-abu di seragamnya dengan genangan air di kelopak mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Novela JuvenilBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...