Setelah mengakhiri permainanku sekali lagi, barulah aku sadar jika Bu Dini sudah tidak ada di ruangan. Rangga tampak mengabaikanku yang kini berbalik menunggu kritik dan komentar sepedas sambal terasi. Namun, hampir selama tiga menit ia mengernyit menatap layar ponsel dengan earphone di telinga. Tunggu, jangan bilang sejak tadi ia sama sekali tidak mendengar permainanku.
Beberapa menit kemudian barulah ia mengangkat wajah. Itu bukan untuk berkata 'ulangi lagi.' Rangga sekaligus bangkit dari kursi dengan membawa tas ransel yang ia letakkan di atas lantai. "Lanjut latihannya besok aja," ujar pemuda itu sembari berpegangan pada gagang pintu. Aku bersorak dalam hati, bergegas merapikan isi tas. Itu berarti waktu istirahat untukku.
Entah kali ini siapa yang mengikuti siapa. Semenjak keluar dari ruang musik, kami seperti dua orang yang sudah membuat janji pulang bersama. "Tadi sebenernya kamu dengerin apa? Kok kayaknya serius banget." Sampe-sampe enggak dengerin aku main sampe kelar, lanjutku dalam hati.
"Enggak penting. Iseng aja. Sayang kalo wi-fi sekolah enggak dimanfaatin." Ia kembali mengambil benda pipih itu dari saku celana dan memainkannya. Yah, semoga saja tidak ada jalan berlubang yang bisa membuat ia terjatuh. Atau itu akan memberi alasan untuk tidak latihan lebih lama lagi. "Cuma nontonin video lama yang kebetulan lewat di beranda."
Aku mengernyit. "Video apa?" Otakku berpikir keras. Bagi pemilik tala sempurna seperti dia, apa yang kira-kira bisa membuat dahinya terlipat seperti tadi? Penampilan musisi yang salah memainkan nada, tetapi tidak ada pendengar yang menyadari. Ya, itu kemungkinan paling masuk akal.
Alih-alih memberitahu secara langsung, lelaki itu menunjukkan video berkualitas rendah yang ia maksud tepat beberapa senti di depan wajahku. Sampai-sampai aku harus menyipitkan mata dan memundurkan kepala.
Jujur saja, aku kurang bisa mengerti maksud sebenarnya, dan mengapa Rangga terlihat kurang suka dengan rekaman berdurasi empat menit itu. Bercerita tentang seorang perempuan tunarungu yang ingin menjadi violinis setelah melihat seorang pria yang sepertinya adalah musisi jalanan. Itu saja. Aku sama sekali tidak mendengar nada yang salah. Apa lelaki itu tidak suka dengan gaya permainannya yang terlalu didramatisir?
Kali ini giliran aku yang mengernyit bingung menatap Rangga yang sepertinya sangat enggan bicara, walaupun sekadar untuk memberi penjelasan dengan satu atau dua kata. "Apa yang salah?" Selain nama produk yang tiba-tiba muncul dengan slogannya secara tidak terduga, kurasa tidak ada hal aneh.
"Semuanya," ujar laki-laki itu sembari memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana. Bukannya mengerti, satu kata itu semakin membuat bingung. Maksudku, si tokoh utama sudah pasti hanya aktris yang dibayar untuk berakting, tetapi belum tentu pandai bermain biola. Bukan hal mengherankan lagi kalau teknik permainannya cukup kacau.
"Menurut kamu apa mungkin orang tuli bisa yang belajar main biola dari nol bisa jago dalam waktu singkat?" Kurasa semua bisa saja terjadi, tidak ada yang mustahil. Bahkan, komposer yang dia idolakan mampu membuktikan kalau kekurangan bukan halangan dengan terus menulis komposisi musik hingga akhir hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Ficção AdolescenteBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...