❗Aku tidak pernah mem-publish cerita ini di platform lain. Jika kalian menemukannya di tempat lain, segera tinggalkan karena perangkat kalian beresiko terkena malware.❗
❗Kalian bisa membacanya di https://www.wattpad.com/story/264657503 . Silakan klik untuk membaca dengan lebih aman. ❗
❗If you are reading this story on any other platform OTHER thanWATTPAD, you are very likely to be at risk of a MALWARE ATTACK. ❗
❗ If you wish to read this story in it's original, safe, PLEASE GO TO: https://www.wattpad.com/story/264657503 ❗
*
“Ayo, tadi katanya mau belajar di rumahku. Bukan di jalan depan komplek.” Fery berkacak pinggang di depan gerbang, menatap kami berdua bergantian. Pemandangan yang terpampang di depan membuat kami ragu-ragu melangkah masuk. Rumah tiga lantai dengan gaya konstruksi yang begitu apik membuat perasaan kagum bercampur sedikit segan muncul di dalam benak.
Awalnya aku dan Poppy berencana belajar di rumah si maniak matematika sepulang sekolah. Cowok itu langsung menyetujui tanpa banyak berkomentar, kemudian meminta kami untuk tidak mengatakan hal buruk tentang rumahnya. Ah, kalau rumahnya sebagus ini, siapa coba yang akan menghina?
“Kalau kata netizen, itu namanya merendah untuk meroket,” bisik Poppy saat Fery sibuk mencari kunci ke sekian untuk membuka pintu ruangan di lantai tiga yang biasa ia pakai belajar. Aku hampir saja terkekeh mendengarnya. Namun, aku terpaksa menahan untuk menjaga sikap di depan si pemilik rumah yang sudah mengizinkan kami masuk.
Keheningan canggung ini seketika pecah oleh teriakan kaget Poppy. Aku spontan menoleh, hanya untuk mendapati makhluk berbulu abu-abu yang entah sejak kapan ada di kaki sahabatku. Fery yang baru saja berhasil membuka pintu berbalik dan menimangnya penuh sayang. “Halo. Kamu pasti bosen, ya, tinggal di rumah tanpa aku?”
Poppy yang baru sembuh dari keterkejutan berbisik, “Aku baru tau ni anak suka kucing.” Aku mengangguk setuju. Sama herannya ketika melihat si maniak matematika itu menyukai hal-hal imut. Rasanya, ini sedikit tidak sinkron dengan hobinya yang mengerikan.
“Oh, ya. Kenalin, ini namanya Integral,” ujar lelaki itu sembari membuat kucing abu-abu itu seolah melambaikan kaki depannya. Entahlah. Aku tidak tahu harus prihatin karena melihat raut wajah datar hewan itu saat dipaksa menyapa kami, atau mengingat nama aneh yang diberikan sang pemilik. “Dan itu, yang duduk di depan jendela, namanya Algebra.”
Jangan tanya bagaimana reaksi Poppy saat acara perkenalan tersebut. Dia hanya membisu dengan mulut yang sedikit terbuka, tampak seperti kehilangan kata-kata. Fery yang menyadari hal itu hanya terkikik geli sembari mempersilakan kami masuk ke ruang belajarnya yang masih tampak normal.
Aku memandang sekeliling, mengambil tempat di sebelah Poppy. Rasanya belum lima detik kami duduk dengan nyaman di atas karpet abu-abu ini, seekor kucing kembali menampakkan diri lewat celah pintu. Fery yang awalnya tampak serius kembali terlihat ceria. “Ah, Sigma! Sini, jangan takut sama temenku.” Namun, bukannya mendekat, hewan berbulu putih dengan ekor kecokelatan itu malah berbalik malu-malu.
Seolah belum cukup heran dengan semuanya, Poppy menatap Fery penuh tanda tanya. “Aku enggak nyangka kamu ini cat lovers, Fer. Yah, bukan masalah, sih. Aku juga suka.”
“Mereka itu imut. Siapa yang enggak bakalan suka?” Lelaki itu menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari buku.
Perempuan di sebelahku menatap sedatar-datarnya. “Tapi kenapa namanya pake rumus matematika semua? Mereka itu terlalu gemesin untuk punya nama serem kayak gitu.”
Bukannya menjawab, pemuda itu malah tertawa mendengar protes Poppy. “Udah, udah. Pokoknya sekarang aku bakal bikin kalian mikir kalo rumus-rumus ini juga sama imutnya.” Entah apa yang dipikirkan Poppy. Akan tetapi wajahnya seolah-olah mengatakan satu kalimat yang sama denganku.
Cowok ini benar-benar mengerikan.
Sahabatku akhirnya memilih untuk tidak protes lagi, dan hanya diam menyimak penjelasan. Harus diakui oleh siapa pun, Fery memiliki bakat terpendam menjadi guru matematika. Cara mengajar yang sedikit berbeda membuat materi sesulit apa pun menjadi mudah dimengerti dengan membuatnya menjadi sederhana. Hanya saja, itu sama sekali tidak melunturkan kesan sangar yang muncul dari gelarnya, ‘maniak matematika.’
Ngomong-ngomong soal kucing, aku jadi terpikirkan satu ide. Iya, kurasa memelihara satu bukan masalah besar. Aku tidak perlu kesepian lagi ketika sendiri di rumah, mengulang-ulangi piece yang sama. Pasti menyenangkan kalau ia juga mau berlatih bersamaku. Bisa kubayangkan kucingku menekan tuts piano dengan kedua kaki depan, membuat kagum seisi rumah.
“Kalian tunggu aja di sini, ya. Aku sampe lupa ambilin kalian minum.” Poppy membuang napas panjang ketika laki-laki itu menghilang di balik pintu, menatap kertas oretan yang penuh dengan tinta pulpen. Sesekali menggumamkan kalimat yang tidak terlalu jelas.
Baru saja aku hendak menanyakan maksudnya, si pemilik rumah tiba-tiba saja kembali. “Maaf, nih. Kalian lama ya nunggunya?”
Aku hanya menggeleng pelan. “Sepuluh menit aja enggak nyampe,” Poppy lebih dahulu membalas sebelum aku mengatakan hal serupa. Fery tertawa pelan, meletakkan sebuah nampan yang berisi minuman di dalam tiga gelas kaca. Saat itulah aku tersadar ada seekor kucing lagi yang mengikutinya dari belakang.
“Oh, iya. Yang ini namanya Rial.” Tanpa diminta lelaki itu kembali memperkenalkan kucingnya yang kali ini tidak mau digendong.
Poppy menurunkan kertas oretan yang dia cermati selama lima menit terakhir dengan kerutan dalam di dahi. “Tumben namanya bagus.”
Fery tersenyum lebar. “Nama lengkapnya Faktorial.”
Bukan hanya Poppy, aku yang sempat berpikir serupa hanya bisa memandang datar. “Jangan-jangan ini yang dia maksud ‘hal buruk dari rumahnya’,” gumamku.
Poppy membalas, seperti berusaha untuk tidak terdengar oleh Fery yang masih berusaha keras merayu si Faktorial. “Ah, anak ini bener-bener enggak normal,”
*
24 September 2021, 18:55
Jangan lupa vote dan comment. 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Teen FictionBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...