Getaran tanda panggilan dari smartphone yang masih dalam mode silent membuyarkan lamunanku dari sosok lelaki yang tiba-tiba saja sudah menghilang di ujung jalan. Demi melihat nama yang terlihat pada layar, aku berusaha kembali ceria. Kalau tidak, dia pasti akan menyangka aku gagal dalam tes hari ini.
"Halo, Papa."
"Aya, bagaimana ujianmu?" Persis seperti dugaan. Aku dengan semangat menjelaskan setiap detail. Bagaimana aku hampir menekan tuts yang salah, bagaimana sulitnya mempertahankan ritme agar tidak berantakan, semua tersampaikan dengan baik. Papa pun menyahut ringan dari seberang sana.
Aku sudah menepi ke tempat yang lebih aman untuk menelepon. "Papa jangan khawatir. Semua lancar berkat tips dari Papa. Walaupun, yah, cuma beberapa yang bekerja," ujarku sebagai penutup cerita dengan membuat kalimat terakhir seolah-olah digumamkan. Papa kembali tertawa ringan lewat sambungan telepon.
"Aya di mana sekarang?"
Aku mengernyit, menatap sekeliling. Kemudian menyingkir setelah mendengar seruan seorang pengunjung yang hendak memarkirkan sepeda motor. "Aya di depan minimarket. Memangnya kenapa, Pa?"
"Papa kebetulan pulang lebih cepat. Jadi, sekalian aja jemput Aya. Enggak papa, kan?" Aku refleks mengangguk, padahal jelas-jelas Papa tidak akan bisa melihat. Tawaran tersebut dalam sekejap mata mampu mengusir semua kegalauan yang hinggap di kepala. Karena selain Miss Emma, Papa adalah orang yang paling menyenangkan diajak bicara. Sungguh memalukan kalau mengingat kembali bagaimana aku salah menaruh prasangka kepadanya dua belas tahun lalu.
Tidak sampai dua menit, mobil hitam milik Papa sudah terlihat menepi. Kelihatan sekali kalau pertanyaan terakhirnya tadi hanyalah basa-basi. Kalau memerhatikan bagaimana intonasi bicara sejak tadi, maka jawabanku sudah bisa ditebak. Bahkan mungkin, seandainya aku sedang kesal padanya, pria itu akan tetap datang untuk membujuk pulang bersama.
Aku segera masuk, duduk di sebelah Papa setelah meletakkan tas di kursi belakang yang kebetulan kosong. Bukannya segera menjalankan mesin, ia memandangiku cukup lama. "Tidak. Cuma mau memastikan kamu beneran anak Papa atau, bukan?" Papa terkekeh sembari menginjak pedal gas. Aku ikut tertawa. Tentu saja ia hanya bergurau.
Meski sedikit ramai, untung saja tidak ada kemacetan panjang hari ini. Papa dengan lincah mengemudi, menyalip beberapa pengendara yang seolah-olah berpikir jalan raya hanya miliknya. Tidak perlu khawatir sampai rumah setelah matahari terbenam, dan membuat Mama berpikir macam-macam mengapa aku baru pulang.
Papa tampak fokus menyetir dalam diam. Sebab itulah aku lebih memilih ikut membisu sembari menatap pemandangan di luar jendela mobil. Pikiranku kembali melayang tanpa terkendali, memikirkan pria misterius yang barusan kutemui. Entahlah, apakah sebenarnya ia sedang mengamatiku, atau justru akulah yang mengamati dia.
Berkebalikan dengan anak-anak, biasanya orang dewasa tidak akan mengalami perubahan yang terlalu signifikan seiring bertambahnya usia. Kecuali rambut beruban atau kulit wajah yang perlahan mulai kendur, dua hal ini tidak dihitung. Ditambah lagi, tidak ada yang mengatakan dia memiliki saudara kembar, aku semakin yakin orang itu adalah Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Novela JuvenilBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...