Aku memikirkan saran dari Poppy sepanjang latihan hingga tanpa sadar aku menjadi sedikit lebih pendiam dibanding biasanya. Tidak banyak mengajak Fery bicara. Malah dialah yang lebih sering menerima jawaban singkat dari setiap pertanyaan yang diajukannya. Namun, sepertinya lelaki itu tidak terlalu peduli. Masih tekun seperti biasa. Terlebih lagi, waktu persiapan untuk lomba itu semakin pendek.
Berbicara langsung kurasa bukan solusi yang tepat. Apa pun alasannya, aku takkan pernah melakukannya. Aku tak terbiasa melakukan pembicaraan empat mata dengannya. Mama semakin sensitif semenjak meninggalkan rumah Ayah. Suasana hatinya akhir-akhir ini juga tidak stabil. Bagaimana kalau upaya protes ini malah berakhir fatal?
Apa yang kulakukan sudah benar, bukan? Lagi pula, tujuan utama dari sebuah pembicaraan adalah saling memahami jalan pikiran satu sama lain, kemudian membuat kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Itu tentu saja tidak akan terjadi jika pihak kedua negosiasi memiliki seribu argumen untuk membuatku terdiam dan menyerah.
Kalau tidak salah, Poppy juga berkata, “Sesuatu yang kita jalani dengan terpaksa enggak akan pernah jadi bagus.” Inilah kuncinya. Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha melakukannya dengan senang hati. Seolah-olah itu keinginanku sendiri. Memang tidak ada orang yang terlahir cerdas. Aku bukannya tidak berbakat. Masalahnya hanya terletak pada cara belajar yang kurang maksimal, bukan?
Jika aku berusaha lebih giat, aku pasti bisa mendapat kesempatan ikut olimpiade matematika. Bahkan menjadi juara bukan hal sulit. Dengan begitu, aku bisa mewujudkan impian Mama, kemudian mengembalikan senyumannya yang semakin memudar semenjak dua belas tahun lalu.
Ah, mengapa selama ini aku tidak menyadarinya. Menjadi pengiring untuk Rangga sama sekali tidak mengganggu aktivitas belajarku, kan. Aku hanya perlu sering latihan dan konsentrasi. Lagi pula, sebagai pengiring aku tidak boleh tampil lebih menonjol daripada violinisnya.
Membayangkan dua hal itu membuat semangatku kembali menyala saja. Kalau dalam film kartun, mungkin latar di belakangku akan tampak berapi-api. Penjelasan Pak Eko dengan mudah bisa kuserap. Seperti spons kering yang diletakkan di tempat berair. Malah bagiku pembelajaran hari ini terasa kurang.
Ah, jadi ini rahasia mengapa Fery begitu menggilai pelajaran ini.
Aku menjadi yang paling akhir keluar dari ruangan. Meskipun sudah sore, tim voli masih tampak berkumpul di lapangan, duduk berselonjor membentuk setengah lingkaran sembari mendengarkan pelatih mereka. Sepertinya akan lama, jadi kuputuskan untuk pulang lebih dulu. Tanpa dikabari Poppy pasti sudah mengerti.
Biasanya, Rangga masih asyik menggesek senar biolanya dengan rambut kuda. Akan tetapi, anehnya kali ini tidak terdengar apa pun dari taman belakang. Sempat aku bertanya-tanya. Mengapa dia selalu memilih tempat itu, padahal sekolah ini cukup luas? Mungkinkah supaya dia bisa lebih bisa menghayati permainan, dan merasakan dalamnya makna serta emosi dalam mahakarya seorang komposer?
Ah, aku sungguh tidak percaya dia suka hal-hal filosofis semacam itu. Sebagai pianis, banyak hal yang tidak kumengerti dari jalan pikiran pemuda itu. Sederhananya, aku tidak punya kebebasan memilih tempat latihan. Mana mungkin aku membawa-bawa piano keluar masuk rumah hanya untuk mencari lokasi yang nyaman dan cocok untuk berkontemplasi.
“Ah, kamu? Aku enggak nyangka kita bisa ketemu lagi!” Terlihat seorang gadis memanggil sembari melambaikan tangan dari kejauhan. Ia tampak tersenyum lebar sama seperti kemarin. “Dunia memang sempit, ya,” gurauku tanpa pikir panjang menduduki sebuah bangku panjang di depan kelasku, tepat di sebelahnya.
Perempuan yang tak lain adalah Kezia itu menoleh. “Aku sengaja nungguin kamu di sini. Lupa kalo hari ini kamu latihan.”
Aku lekas memperbaiki posisi duduk. Kalau memang begini, pasti ada hal yang cukup mendesak. Tidak mungkin kan dia menunggu di depan kelasku hanya untuk menyapa.
“Ada yang perlu aku bantu?” Kezia mengangguk pelan sembari mengeluarkan sebuah buku catatan dari dalam tas. Dia membuka halaman tengah, tanpa banyak bicara menyerahkan untuk dibaca. Aku mengernyit menggerakkan mata dari atas hingga bawah. Sebuah puisi empat bait. Bantuan apa sebenarnya yang bisa diberikan oleh orang yang tidak terlalu pandai sastra sepertiku?
Kuserahkan kembali buku catatan itu dengan tatapan yang menyiratkan semua tanda itu – entah Kezia mengerti atau tidak. “Bagus, kan? Tapi bukan aku yang bikin puisi ini,” ungkapnya sembari tertawa kecil. Aku terseyum tipis. Membuat puisi sehebat itu memang bukan hal mudah.
“Ini punya adikku. Dia udah lama mau ikut lomba musikalisasi puisi. Sayangnya dia enggak paham apa-apa soal aransemen musik. Dia yang tau aku anggota klub musik langsung minta aku buat bikin nadanya.” Wajah Kezia tampak berubah menjadi sendu. Sudah kuduga ada yang salah.
Gadis itu mengusap wajah. “Aku tau seberapa pengen dia ikut lomba itu. Berkali-kali dia ikut event antologi enggak pernah kepilih. Itu salah satu kesempatan supaya dia bisa nunjukin karyanya. Aku pengen bantuin dia. Tapi kemampuanku terbatas. Takutnya kalau aku yang buat, malah bikin semuanya jadi kacau.”
Seketika lidahku kehilangan kata-kata. Anak tunggal sepertiku memang tidak pernah tahu rasanya menjadi seorang kakak. Akan tetapi, apa bedanya? Kezia ingin mewujudkan impian sang adik, aku ingin membuat Mama bahagia ketika cita-citanya terwujud. Pada dasarnya sama-sama membawa harapan orang yang disayangi.
Harapan yang terkadang tidak sebanding dengan kemampuan yang kita miliki. Akhirnya rasa takut akan menimbulkan kekecewaan datang menghantui. Aku amat mengerti hal itu. Kejadian tadi pagi dengan sore ini, kurasa bukan kebetulan. “Kezia, enggak usah khawatir. Mungkin aku bisa bantu.”
Kezia menoleh dengan alis yang sedikit turun. Ia menatapku lamat-lamat tanpa sepatah kata pun. “Kamu yakin? Bukannya kamu harus belajar, terus ada persiapan buat jadi pengiringnya Rangga?” Raut wajahnya semakin tampak mendung ketika mengucapkan kalimat terakhir.
“Aku paham gimana rasanya di posisi kamu. Gimana nyeseknya kalo harapan mereka enggak bisa kita penuhi. Kamu enggak mau adik kamu kecewa, dan aku enggak mau terus-terusan liat kamu sedih gitu,” aku mencoba meyakinkan. Barulah beberapa detik setelahnya, gadis itu kembali bisa tersenyum.
Secara tiba-tiba dia menghambur memelukku erat-erat. “Makasih, Aya. Kamu bener-bener baik. Aku yakin adikku bakal senang kalau tau kalo dia dibantu musisi hebat kayak kamu.” Aku hanya menggeleng pelan kemudian melepas pelukan. Kezia mengizinkanku mengambil foto dari puisi karya adiknya, baru beberapa menit kemudian kami berpisah.
Aku mengembuskan napas panjang. Benar saran motivator yang kudengar beberapa waktu lalu. Daripada meratap, akan lebih baik jika rasa sedih kita balas dengan meringankan beban orang lain.
Baru beberapa langkah meninggalkan koridor, mataku kembali disambut oleh sosok yang tak asing. Sosok yang entah mengapa tiba-tiba absen dari rutinitas memainkan nada-nada emosional milik para komposer zaman romantik. Dia menghampiriku dengan tangan kiri di dalam saku celana, sementara yang satunya mencengkeram tali tas ransel. “Biola kamu mana?”
“Enggak bawa,” jawab Rangga singkat sembari menoleh ke arah lain. Laki-laki itu masih tampak enggan memperlihatkan ekspresi berarti.
Aku mengernyit. “Terus tadi pagi kenapa enggak masuk?”
“Bukan urusanmu.”
Dia menyebalkan, batinku sembari membuang napas kasar. Jika begini, jelas sekali dia tidak akan mengajak berlatih di ruang musik seperti kemarin. Kalau dia memang tidak mau diajak bicara, lebih baik aku segera pulang sebelum Mama murka seperti kemarin. Terlebih hari ini, aku bukannya ditemani Papa, melainkan sosok lelaki aneh yang tidak jelas apa maunya.
Aku segera berbalik dan melanjutkan perjalanan menuju gerbang depan. Anehnya, pemuda itu malah ikut berjalan di sebelahku. “Berenti ngikutin aku,” ujarnya ketus. Sehingga, membuat dahiku kembali terlipat. Bukankah itu seharusnya menjadi kalimatku. Dialah yang sebenarnya membuntuti.
Aku menarik napas panjang. Mungkin inilah alasan mengapa aku harus menghindari laki-laki ini, menurut Poppy. Jika dibandingkan dengan siswa lain di kelas, Rangga termasuk seorang pendiam. Akan tetapi, dalam kesempatan yang sangat sedikit itu, ia bahkan mampu membuat lawan bicaranya langsung menjadi penderita hipertensi. Untung saja masih ada sedikit stok kesabaran sisa dari mengerjakan soal matematika sepuluh menit yang lalu.
Kutarik napas dalam-dalam – untuk yang kelima kalinya dalam empat puluh detik. “Jadi hari ini kita enggak akan latihan?” Supaya sisa kesabaran masih bisa bertahan sampai akhir pembicaraan ini, aku mencoba mengganti topik. Pemuda itu masih asyik menatap ke arah lain, sebelum akhirnya menyadari pertanyaanku.
“Aku tau kamu enggak bakal sempat. Sekarang pun kamu pengen cepet-cepet pulang, kan?” Ia menoleh, melemparkan tatapan setajam silet itu. Mau tak mau aku mengangguk jujur. Setelahnya, hening kembali menyelimuti. Seandainya tidak akan menimbulkan masalah baru, aku ingin berlari secepat mungkin meninggalkan suasana canggung ini.
“Aku cuma mau ngasi tau kamu.” Rangga tiba-tiba menghentikan langkah, tetapi masih dengan tatapan menusuk yang tidak lepas dariku. “Aku enggak jadi pakai piece yang aku bilang waktu itu.” Mau tidak mau aku ikut berhenti dan berbalik agar bisa mendengar ucapannya dengan jelas.
Laki-laki itu mengusap rambut. “Kita bakalan pake ‘Violin Sonata no. 4’. Kali ini fix, enggak bakalan ganti lagi,” tegasnya. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk patuh.
“Selama ini orang cuma tau ‘Fur Elise’. Itu pun mereka tau dari rumornya. Dasar. Akan kutunjukkan kalo ada ratusan piece lain yang lebih hebat.” Entah dia mengomel kepada siapa, bagiku perubahan sikapnya dalam lima menit cukup menggelikan.
Beethoven lebih dikenal karena Für Elise, Pachelbel dengan Canon in D, Mozart dengan Eine Kleine Nachtmusik, kemudian Debussy dengan Claire de Lune. Hal itu memang sudah menjadi hal wajar yang sepertinya tidak perlu dipermasalahkan. Seseorang yang bukan penggemar musik klasik pasti hanya akan mengenal karya mereka yang sering diputar di media.
Namun, Rangga tampak sedikit berbeda. Aku tersenyum tipis. “Ternyata kamu beneran penggemar berat Beethoven, ya.”
“Begitulah,” ia menyahut. Benar-benar singkat seperti biasa. “Aku pergi. Angkotnya bentar lagi juga nyampe. Ada nada G.” Rangga menunjuk ke arah mobil angkutan yang membunyikan klakson. Rahang bawahku terbuka karenanya. Buru-buru aku tersenyum kemudian mengucapkan terima kasih. Akan tetapi, belum sempat menoleh dia sudah menghilang di balik kerumunan.
Ah, dasar, si tala sempurna.*
24 Juli 2021, 22:04 WITA.
Seperti biasa, update malem-malem.
Jujur aja, ya. Part ini berhasil bikin aku senyum-senyum sendiri. Semoga kalian juga, hehe.
Okey, follow aku di wattpad dan instagram @hikaru.universe untuk dapat informasi dari trivia soal cerita ini (siapa tau nanti aku kelepasan ngasi spoiler 😆).
Dan seperti biasa, jangan lupa tinggalkan vote dan comment-nya. 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Teen FictionBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...