Hening agak lama. Aku duduk di bangku taman yang sudah tampak lapuk karena lama dibiarkan di bawah hujan dan panas matahari, masih menunggu Rangga memulai cerita. Pemuda itu duduk bersila di tempat yang agak teduh. Sejak tadi, hanya membisu sembari memeluk biolanya.
Sorot mata tidak tampak tajam seperti hari sebelumnya, seolah tidak tertarik melihat apa pun selain tanah. Kalau begini, aku juga merasa tidak enak hati untuk memaksa. Jika itu adalah masalah pribadi yang berat untuk sekadar diingat, memang lebih baik tunggu waktu yang tepat untuk bicara. "Kalo kamu enggak mau cerita, enggak masalah, kok."
Rangga menoleh pelan, memiringkan kepala. "Tapi kamu pengen tau banget, kan?" balasnya, tidak dengan intonasi bertanya. Aku tertegun. Untuk kedua kalinya dalam hari ini, dia bisa menebak apa yang kupikirkan. "Ini bukan rahasia negara. Malah harusnya semua orang udah tau soal ini."
Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya pelan. "Biola ini sebenernya bukan punyaku." Hah, apa? Setelah terdiam selama hampir lima belas menit, dia tiba-tiba mengatakan hal remeh seperti itu. Memangnya apa hubungan pemilik asli biola tersebut dengan kejadian kemarin?
Aku mengerjap-ngerjap. "Jadi ..., kamu selama ini belajar dan latihan pake biola punya orang?"
Jarinya bergerak pelan meraba tekstur alat musik tersebut. "Aku mulai belajar waktu kelas masih satu SD, diajar pamanku. Aku tau namanya biola karena dia yang beliin. Yah, sebagus apa pun biolanya. Kalo belum jago, ya tetep aja suaranya kayak pintu rusak." Ia tertawa hambar - tawa pertama yang kudengar darinya.
"Aku enggak pernah bilang ke siapa pun kalo aku belajar main musik. Karena seandainya mereka tau, pasti aku disuruh main depan mereka, habis itu ngeledek kalo permainanku enggak bagus. Tapi, Paman enggak pernah marah walaupun harus denger suara itu tiap hari. Dia juga yang ngajarin aku cara supaya biola bisa awet." Ah, aku yakin sekali. Menghajar siapa pun yang tidak sengaja menyenggol biola pasti bukan bagian dari ajaran pamannya.
"Dia pindah ke kota lain karena urusan kerjaan waktu aku kelas dua SMP. Pesannya sebelum pergi, salah satunya jangan pernah berenti latihan. Kalo enggak, permainanku bakalan balik lagi jadi kayak pintu rusak. Enggak ada masalah dengan itu, sampe aku naik ke kelas tiga SMP.
"Ayahku meninggal. Ibu yang awalnya cuma jadi ibu rumah tangga, mulai kerja. Memang itu masa-masa yang berat. Tapi semuanya jadi lebih berat waktu aku diterima masuk sekolah ini. Biayanya mahal, belum lagi adikku baru masuk sekolah. Kami jadi makin kesulitan karena Ayah enggak punya banyak tabungan.
"Ibu jadi terpaksa jual beberapa barang berharga di rumah, termasuk biolaku. Sejak itu aku mulai kerja part time di beberapa tempat. Karena pasti rasanya kayak jadi anak durhaka kalo cuma diem, bisanya cuma nambah beban orang tua. Walaupun enggak seberapa, tapi lumayanlah. Daripada harus nunggak biaya BPP berbulan-bulan."
Rangga mengembuskan napas berat. Sama sekali tidak pernah terbayang di dalam benak. Laki-laki itu sudah dinilai buruk oleh seluruh warga sekolah. Sekarang di depanku, jauh dari keramaian, ia mengakui seberapa pedulinya ia pada keadaan keluarga. Tidak ada tanda-tanda kebohongan. Apa yang selama ini kulakukan? Melihatnya hanya dari spekulasi dari orang yang bahkan tidak tahu seberapa sulitnya bertahan dengan kondisi seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Fiksi RemajaBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...