"Aku juga ada kontes bulan depan."
Satu bulan ini benar-benar seperti kilat, gerakannya hampir tidak terasa. Tiba-tiba saja aku sudah berdiri di sebelah Rangga, bersiap-siap memasuki panggung sakral ini. Kuhirup udara beraroma debu itu dalam-dalam. Dinginnya ruangan sama sekali tidak membuat peluh membatalkan niat untuk keluar.
Seolah-olah menyadari kegelisahan yang menghampiri, lelaki di samping kananku menoleh. Melemparkan senyum kecil sebagai isyarat untuk ungkapan penyemangat -- kurasa. Bisa kupastikan, jatungnya berdebar jauh lebih keras dari biasanya. Terbukti ketika ia harus menarik napas dalam beberapa kali.
Tanganku memegang erat sisi kertas musik. Dengan langkah yang masih sedikit gemetar mengikuti Rangga yang sepertinya telah berhasil mengusir semua keraguan. Usaha untuk mengatur napas yang masih tak beraturan tidak terdengar jelas berkat gemuruh tepuk tangan penonton ketika kami membungkuk memberi hormat.
Kuletakkan partitur di tempat biasa, sejenak menatap bingung bangku yang sudah sesuai dengan tinggi badan remaja perempuan. Ah, sekarang memang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal-hal remeh begitu. Aku harus benar-benar siap sebelum Rangga selesai menyetel senar biola.
Sewaktu kami tiba di gedung tempat kontes ini, Poppy menyambut dengan muka yang tampak sangat khawatir. Tanpa banyak bicara langsung memeluk erat-erat seraya berulang kali mengucapkan kata maaf. Aku tidak tahu harus merespons apa kecuali dengan anggukan pelan. Mataku sudah terlalu perih untuk menangis lagi.
Tanpa disangka, sahabatku itu ternyata sudah membawa semua yang kuperlukan. Terusan putih selutut serta sepatu selop berwarna hitam yang sempat ia ambil dari rumahku. Dengan peralatan rias yang juga dibawanya, perempuan itu berusaha menutupi hitamnya kelopak mata yang membuatku terlihat berantakan. Di saat itu, aku hanya bisa menghela napas panjang. dia sudah terlalu banyak membantu.
"Pokoknya kalian harus tampil keren. Mama kamu bakal dateng. Jangan sampe rencana kita kacau." Bisikan Poppy menyebabkan kekhawatiran kembali menguasai pikiranku, andai selanjutnya dia tidak memberi afirmasi positif.
Tenanglah, Aya. Semua akan berjalan sesuai rencana.
Tidak usah tanya bagaimana perasaanku saat pertama kali menyentuh tuts piano. Untunglah semua rasa gugupku berangsur berkurang setiap satu not yang kumainkan. Sesekali tatapan lirikan sang violinis membuatku kembali tersadar jika dia merasakan kekhawatiran yang sama. Benar, panggung ini milik kami berdua.
Jemariku seolah bergerak dengan sendirinya, menekan nada yang selama ini selalu kumainkan diam-diam di ruang sebelah kamarku. Juga yang kumainkan setiap sore di ruang musik. Semuanya mengalir begitu saja. Aku tahu. Panggung ini ... adalah puncak dari segala yang telah kami lewati.
Ada yang sedikit berbeda. Suara gesekan biola Rangga juga terdengar lebih lembut daripada biasanya. Tidak, semangat berapi-api dari penggemar karya Beethoven itu masih terasa. Malah kini semakin bergelora. Namun, seperti ada sesuatu yang hendak ia sampaikan lewat permainannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Roman pour AdolescentsBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...