Entah dari mana asal muasalnya, rumor tentang kami dengan cepat menyebar. Menjadi topik pembicaraan di antara siswa yang berkerumun di depan kelas atau ruang loker, menatapku dengan raut wajah bingung saat melewati tempat itu. Akan tetapi, kalau dipikir-pikir lagi, kami menjadi pusat perhatian saat digiring ke ruang BK. Tidak heran kalau ada banyak pasang mata yang dipenuhi rasa penasaran.
Kali ini aku tidak bisa mengelak. Poppy yang datang lebih terlambat dengan kasar meletakkan tas di atas kursi, menggebrak meja dengan raut wajah yang sudah menjelaskan semuanya. "Aya, sebenernya ada masalah apa kemarin? Kenapa dari depan gerbang sampe sini, aku terus-terusan ditanyain soal kamu?"
Aku meneguk ludah. "Maaf." Meski tidak semengerikan tatapan kepala sekolah, cara Poppy menunjukkan kekhawatiran dalam sekejap mampu membuatku menyerah. Apa boleh buat? Cepat atau lambat, dia pasti akan segera mengetahui setiap detail. Akan jauh lebih baik kalau ia mengetahuinya langsung dari orang yang terlibat.
Saat aku mulai bercerita, ia terlihat lebih tenang duduk dengan kursi yang diputar sembilan puluh derajat searah jarum jam. Selang beberapa detik kemudian raut wajahnya kembali seperti semula. Berulang kali mengusap wajah dan mengembuskan napas berat. "Ternyata kamu memang enggak pernah dengerin apa kataku." Poppy memijat pelipis, berkata dengan nada frustrasi.
"Rangga sampe minta bantuan ke Bu Dini. Harus gimana? Aku enggak bisa nolak." Aku mencoba membela diri. Sepertinya Poppy belum begitu paham dengan situasi menjebak seperti itu. Sehingga, yang ia lakukan hanyalah menyalahkan keputusanku, menganggapnya sebagai tindakan terbodoh. "Kalaupun aku nolak, harus pake alasan apa? 'Aku enggak mau dekat-dekat sama cowok itu'? Rasanya enggak ada alasan lain yang lebih masuk akal."
"Pasti ada." Aku terkesiap. "Kalo enggak salah, kamu sendiri yang cerita kalo musisi juga punya beberapa spesialisasi. Kenapa kamu enggak pakai alasan itu?" Raut muka sahabatku terlihat serius. Jujur saja, tidak sedikit pun terpikir untuk memakai alasan itu. Malah berdalih permainanku belum cukup baik, kemudian memainkan 'Hungarian Rhapsody' dengan hampir sempurna.
"Aya, kamu bukannya bodoh atau naif. Kamu cuma terlalu baik sampe rela mikirin nasib orang yang bahkan enggak akan bikin nilaimu turun. Sebaliknya, anak itu malah bikin kamu kerepotan sampe enggak sempat belajar buat ulangan." Helaan napas panjang menjadi jeda dari ucapannya. "Aku seratus persen yakin, Bu Dini bukan tipe guru yang bakal maksa kita buat selalu nurutin kemauannya, di luar pembelajaran."
Pada akhirnya semua sama saja. Baik Rangga maupun Poppy selalu menyuruh untuk menolak permintaan dari orang lain. Apakah mereka tidak pernah merasa bersimpati pada orang yang impiannya tak tercapai hanya karena hal konyol, seperti tidak adanya pengiring? Aku tidak mengerti. Orang lain berharap besar, mempercayakan janji masa depan, pantaskah aku mengkhianatinya? Memang dalam kasus Kezia, caranya menarik simpati dengan membuat cerita palsu tidak bisa dibenarkan.
Aku tidak mengerti. Bahkan sahabatku sendiri membenci bagian di mana aku selalu berusaha membantu siapa pun, tidak peduli mereka benar-benar sedang butuh bantuan atau hanya ingin memanfaatkanku. Memang ada banyak sekali hal tidak mengenakkan, tetapi itu pasti risikonya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Teen FictionBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...