"Fokus belajar saja. Bila perlu, Mama akan beritahu Miss Emma kalau untuk sementara kamu tidak datang latihan."
Suara Mama terus-menerus terngiang di kepalaku sepanjang akhir pekan, membuat mataku hampir tak pernah terlelap sedetik pun. Waktu itu aku hanya bisa mengangguk patuh sembari menggelamkan diri di antara tumpukan buku kumpulan soal. Apalah yang bisa kuucapkan sebagai alasan? Pasalnya, dalam hal ini, Mama sama sekali tidak salah. Beliau hanya menyuruhku belajar.
Tubuhku benar-benar terasa lesu saat mencapai sekolah. Bahkan mungkin terlihat lebih tidak bersemangat daripada Poppy beserta timnya yang gagal masuk ke babak semifinal. Agaknya bukan hal mengherankan mengingat jika semalam waktu tidur terlalu singkat. "Ya Tuhan, semoga hari ini hujan!" teriakku dengan kedua telapak tangan sebagai peredam.
"Kenapa, sih? Tumben banget mata kamu merah kayak si Erza," celetuk Poppy yang sedang menyalin catatan - kali ini benar-benar untuk dirinya sendiri - sembari menunjuk ke arah bangku sebelah. Erza yang baru kembali entah dari mana hanya bisa mengangkat wajah dari buku catatan sembari mengernyit bingung.
Kutatap Poppy lamat-lamat. Dia bahkan rela menghentikan aktivitasnya sampai mendapatkan jawaban. "Ah, waktu itu aku belum pernah bilang, ya?" Kuhela napas dalam-dalam. "Mama daftarin aku buat ikut lomba minggu depan. Masalahnya, lomba itu enggak gratis. Aku enggak boleh bikin uang Mama terbuang sia-sia."
Sahabatku itu menepuk dahi. "Argh, lagi-lagi karena Mama kamu," ujar Poppy dengan nada seperti frustrasi. Kepalanya bertumpu pada salah satu tangan. "Aku selalu bilang. Jujur enggak akan langsung bikin kamu jadi anak durhaka. Coba sesekali kamu ngomong. Kenapa sih, Ayaaa?!" Dia membuang napas berat.
"Kali ini dia ngelakuin itu tanpa minta persetujuan. Seandainya bisa, mungkin aku bakal ngomong langsung." Itu benar. Mama seolah-olah tidak mengizinkanku melakukan pergerakan di luar kendalinya.
Poppy kembali menepuk dahi. "Hadeeh, kenapa sih hidup kamu lebih ruwet daripada masalah krisis ekonomi dunia?" ia meracau di balik bungkaman telapak tangan. Aku ikut mengembuskan napas panjang. Itu malah lebih terdengar seperti pernyataan satire, hiperbol. Entahlah, apa pun namanya.
Untuk yang ke sekian kali, Poppy mendengkus. Menegakkan tubuh, kemudian melanjutkan kegiatan menyalin catatannya. "Ngomong-ngomong, kamu udah ngelakuin apa yang aku suruh kemarin?" Tiba-tiba saja ia mengganti fokus pembicaraan ketika aku sibuk mengamati para petugas yang sibuk mempersiapkan kegiatan upacara bendera.
Aku termenung sejenak, mengingat-ingat pembicaraan kami kemarin sore lewat telepon -- saat ia mengabarkan soal kekalahan tim voli. Menggeleng pelan. "Mana mungkin kulakuin. Waktunya enggak tepat. Mood Mama sedang jelek. Bukannya dateng buat nonton, bisa-bisa dia malah ngelarang aku pergi ke tempat kontes waktu hari H, terus nyuruh aku belajar seharian."
Kupikir Poppy akan kembali menunjukkan kekesalannya dengan menepuk dahi, ternyata tidak. perempuan itu menopang dagu, menerawang langit-langit kelas. "Bener juga. Dia pasti bakal nyruh kamu buat fokus belajar buat lomba itu. Kita harus mikirin cara lain supaya dia mau dateng. Tapi, bagusnya gimana, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Ficção AdolescenteBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...