"Aya akan berusaha keras. Suatu hari nanti, Mama akan bangga."
Masih teringat apa janjiku pada Mama saat memberitahukan perihal seleksi. Sehingga, tidak ada hal lain yang kulakukan selain membaca ulang materi yang telah dijelaskan saat latihan selama perjalanan menuju sekolah. Sama seperti sewaktu istirahat.
Poppy mengerti hal itu dan memilih tidak mengganggu. Ia sendiri mengaku cukup sibuk dengan jsdwal latihan tim voli yang sebentar lagi akan menghadapi pertandingan. Maka ketika bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, dialah yang lebih dulu pergi dengan mencangklong tas ransel berisi pakaian ganti.
Aku tidak merasa punya hak untuk memaksa ia menungguku sampai selesai seleksi. Tidak apa-apalah walaupun kali ini harus pulang sendiri. Lagi pula ... aku berencana mencari tahu sumber suara biola yang selalu terdengar dari taman belakang setiap waktu pulang sekolah.
"Aya." Refleks aku menoleh saat seseorang dengan suara agak serak menepuk bahuku dari belakang. "Aku denger hari ini kamu ikut seleksi untuk perwakilan lomba. Semangat, ya." Laki-laki itu mengepalkan tangan kanan dengan bibir tertekuk. Dia adalah saingan terberatku di kelas ini. Akan tetapi, entah kenapa kami mendadak sangat dekat sejak posisinya kurebut.
"Ah, Erza. Makasih banyak. Ngomong-ngomong ...." Aku mengernyit melihat matanya yang terlihat lelah dan agak memerah. "... semalem kamu begadang?" Awalnya ia tampak tidak memerhatikanku dan malah melihat sesuatu di luar kelas.
Pemuda itu hanya mengangguk pelan kemudian menguap lebar. "Ya gitu, deh. Tadinya aku mau nanyain soal tugas matematika itu ke kamu. Tapi ... aku enggak mau bergantung sama orang lain. Jadi, aku kerjain aja sendiri." Jika aku pernah berkata Mama adalah orang paling idealis yang pernah kukenal, itu keliru. Karena Erza bahkan lebih dari itu.
"Serius, nih, enggak butuh bantuan?" tawarku, tetapi langsung dibalas dengan sebuah lambaian tangan.
Laki-laki itu tampak tersenyum miring. "Aku bisa ngerjain semua sendiri, kok. Ya udah, aku pulang duluan, ya. Nanti kalo kita ngobrol panjang-panjang, kamu malah telat." Ia kembali menguap dan berjalan keluar. Beberapa detik kemudian, punggungnya sudah tidak terlihat lagi di antara kerumunan.
Kutarik napas dalam-dalam, sekaligus mengumpulkan keberanian. "Kamu sudah belajar maksimal, Aya. Kamu pasti bisa," bisikku pada diri sendiri, melangkah ringan menuju ruangan klub yang tampaknya masih sepi. Persis seperti tiga hari yang lalu. Tidak salah lagi. Pasti hari ini juga Fery menjadi satu-satunya orang yang sudah berada di sana.
Cowok itu unik sekali. Aku yakin, bahkan kalaupun dia disuruh menginap sambil mengerjakan soal matematika semalaman tanpa diberi makan, mungkin tidak akan menolak.
Jalan menuju ruangan klub semakin terasa sepi, karena memang beberapa ruang di sebelahnya sedang kosong. Entah mengapa, aku seperti dibuntuti oleh seseorang. Namun, di belakang tidak ada siapa-siapa. Selain beberapa orang siswa dari klub lain yang sepertinya bahkan tidak menyadari keberadaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I am (not) a Good Girl
Fiksi RemajaBagi Aya yang hidup dengan "good girl syndrome", kebahagiaan orang lain adalah segalanya. Dia akan melakukan apa saja demi itu, termasuk mengorbankan impiannya--menjadi pianis. Semua hanya agar orang-orang melihatnya sebagai anak baik. Suatu hari...