7-Moment

44 9 16
                                    

Juni, 2018

Kalau saja dia memiliki kesempatan untuk membunuh seseorang tanpa melewati proses hukum dan rasa penyesalan, Kim Ah Reum sudah pasti akan membuat kakak laki-lakinya jatuh ke sungai yang mengalir di bawah jembatan yang sedang mereka lalui ini sekarang juga.

Orang macam apa yang tiba-tiba menyeret adiknya keluar dari kamar untuk lari pagi ketika matahari bahkan belum terbit? Padahal rencananya di hari minggu yang indah ini hanya untuk berdiam diri, bersemedi, dan hibernasi musim panas di dalam kamar.

Menghentikan langkah, Kim Ah Reum menunduk sembari memegangi kedua lutunya. Napasnya terengah. Membuat kakak laki-lakinya —Kim Jihyuk, menghentikan langkah beberapa jarak di depannya sebelum berbalik dan menurunkan tudung jaket tipis yang ia kenakan, menampilkan surai legam berantakannya.

Lelaki itu menghela samar. "Ya! Kau bahkan belum berkeringat."

Ah Reum berdecak malas. Ia tak ingin melanjutkan. Astaga, begini rupanya ketika kau tidak pernah berolahraga. Dia memang belum berlari begitu jauh, tapi kakinya sudah tidak lagi terasa. "Lanjutkan sendiri sana," katanya kemudian, melangkah terseok mendekat ke arah pagar pembatas jembatan tersebut.

Dingin menjalar pada permukaan telapak tangannya begitu menggenggam pagar besi tersebut. Terus-terusan mengatur napas memandangi aliran sungai di bawah sana. Seharusnya dia memakai sepeda saja tadi.

"Benar-benar." Jihyuk memandang adiknya tak habis pikir. "Padahal ayah mau menyuruhmu jadi polisi. Bagaimana bisa lolos kalau begitu?"

Polisi?

Oh, astaga. Rupanya ini alasan makhluk satu itu membuat adiknya meninggalkan kasur kesayangan dini hari sekali?

Diam-diam Kim Ah Reum tertawa pelan, membayangkan dirinya jadi polisi. "Haha, yang benar saja."

"Masa baru segitu sudah berhenti? Jangan manja mentang-mentang kau anak perempuan."

Mendengar itu membuat Ah Reum terdiam seketika. Ia melengos malas menoleh kepada kakak laki-lakinya yang masih berdiri disana dengan kedua tangan yang diselipkan ke dalam saku celana. Kim Ah Reum berdecak, sebelum membuka mulut menjawab dengan nada sebal. "Duluan saja sana, dua menit lalu aku menyusul."

"45 detik," balas lelaki itu sebelum berbalik dan melanjutkan langkahnya berlari kecil meninggalkan Kim Ah Reum yang lagi-lagi menghela malas tanpa mengucapkan apapun setelahnya.

Niat untuk menceburkan kakak laki-lakinya ke sungai makin meningkat, astaga bagaimana bisa ada orang semenyebalkan itu? 

Tidak sekali dua kali Jihyuk menyeretnya keluar rumah di hari libur, mengganggu hari liburnya hanya untuk menemaninya latihan bela diri, ke lapangan tembak, dan sekarang lari pagi di waktu yang belum bisa disebut pagi, maksud Ah Reum, matahari saja baru akan terbit beberapa menit lagi. Kim Ah Reum selalu bersyukur kalau kakaknya itu ditugaskan untuk menangani kasus yang berat sehingga tak memiliki waktu untuk mengganggunya.

Daripada menyusul Jihyuk, gadis itu memilih menetap di sana, menyenderkan diri pada pagar besi di belakangnya dengan kedua tangan yang terselip pada saku hoodie hitam yang ia kenakan, memandang ke arah depan dimana satu-dua kendaraan mulai terlihat melewati lajur khusus kendaraan.

Sesaat gadis itu menegakkan tubuhnya tatkala sebuah sepeda yang tak ia sadari sudah berhenti tiba-tiba tepat di depannya diiringi suara rem dan ban sepeda yang bergesekan dengan aspal. Kim Ah Reum menaikkan alis heran, sementara si pengendara membenarkan letak helm pengamannya sebelum menoleh pada Ah Reum dengan kedua alis yang juga terangkat. "Kim Ah Reum?" katanya.

Itu Jeno. Ia menahan sepedanya dengan kedua kaki. Dengan surai legam dibalik helm pengamannya, kaus hitam panjang yang dipadukan dengan training hitam dan sneakers putih, lengkap dengan seutas senyum yang kemudian muncul membuat Kim Ah Reum seketika kikuk. 

"Oh, hai?" Gadis itu mencoba menyapa.

Jeno sendiri pun bingung harus berbicara seperti apa selain tersenyum menatap gadis di hadapannya yang mungkin tidak ia sadari ingin segera melarikan diri. Namun, disana, melirik bagian belakang sepedanya, Jeno kemudian kembali bersuara. "Ayo, ikut." Ia malah menawarkan tumpangan.

Tawaran Jeno membuat Kim Ah Reum ikut melirik ke arah bagian belakang sepeda itu. Tidak ada boncengannya disana, hanya dua penopang yang digunakan untuk berdiri digunakan. Yang Ah Reum tau sih itu fungsi lainnya. 

Kalau dipikir-pikir, agak bagaimana, ya. Ia ingin menolak karena merasa tidak enak. Namun, memperhitungkan jarak rumahnya dari sini ... tidak terlalu jauh sebenarnya, hanya saja Ah Reum lagi malas jalan, dan Jihyuk yang sekarang entah ada dimana, gadis itu akhirnya kembali menatap Jeno. "Boleh?"

"Untuk apa aku menawarkan tumpangan kalau tidak boleh?" Jeno tertawa pelan. "Ayo naik aja, sebelum rame."

Ia lantas mengangguk, mendekat, lalu naik pada bagian belakang sepeda Jeno dengan kedua tangan yang diletakkan pada bahu lelaki di hadapannya. Membuat Ah Reum meneguk saliva gugup. Kim Ah Reum ini benar-benar. Harusnya ia melihat dulu tumpangan dari siapa yang dia ambil. Kalau tadi ini Mark Lee mungkin jantungnya tidak akan berdegup tak normal seperti sekarang.

Di depannya, Jeno menunduk dan tertawa pelan tanpa suara. Ia berusaha menahan senyumnya kemudian sebelum mengeratkan pegangan, dan menaikkan kaki mengayuh sepedanya melalui lajur untuk sepeda dan pejalan kaki di atas jembatan itu. 

"Ah Reum-ah," Suara Jeno memecah keheningan, membuat yang dipanggil sedikit tersentak sebelum kemudian suara Jeno kembali terdengar. "Tidak ada yang terjadi padamu setelah fotomu dan Mark hyung tersebar, kan?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Kim Ah Reum tampak berpikir sejenak, entah untuk mengingat-ingat ataupun memikirkan maksud dari pertanyaan Jeno barusan. 

"Tidak ada," jawabnya kemudian.

Terdengar Jeno menghela lega. "Baguslah, lagipula itu pasti sudah mereda."

"Aku jadi tidak enak dengan Mark, dengan kalian juga." Kim Ah Reum tiba-tiba saja jujur tentang apa yang ia rasakan kepada orang lain selain orang terdekatnya, ia menghela pelan. Karena Jeno membahas ini, membuatnya kembali merasa bersalah. "Aku jadi mengganggu pekerjaannya, jadwal kalian, sampai penggemar kalian juga."

Jeno diam, tidak tau harus merespon seperti apa. Ia tak ingin membenarkan atau juga menyalahkan baik pada Kim Ah Reum maupun Mark. 

"Sebentar, kalau kita kena kasus yang sama karena berdua begini gimana?"

Nada suara Ah Reum terdengar panik tiba-tiba, Jeno lantas tertawa pelan. "Tidak, jam segini aman kok. Yang jelas aku harus mengantarmu pulang sebelum matahari terbit. Dimana rumahmu?" 

Langsung Kim Ah Reum menengadah, menatap ke arah langit yang sudah mulai berwarna jingga. Sinar matahari sudah mulai terlihat hendak menggantikan suasana malam, matahari sebentar lagi akan muncul. 

Ia lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka tengah Jeno masih saja mengayuh sepeda. Sudah bukan di jembatan, mereka sudah memasuki area perumahan tempat tinggal Kim Ah Reum. Gadis itu lantas mengernyit bingung. "Kok tau aku tinggal di daerah sini?"

Jeno menghentikan kayuhannya, langsung menurunkan kedua kaki menahan sepeda yang dibebani oleh dua orang itu. "Hanya ada tempat ini di sekitar jembatan itu, pasti kau tinggal disini kalau lari pagi sampai kesana."

Ternyata Jeno juga cukup cerdas. Gadis itu kemudian turun dari sepeda Jeno. "Aku sampai disini saja," katanya, "nanti kau malah mutar kejauhan."

Baru pertama kali Jeno mendengar gadis di hadapannya itu berbicara sebanyak ini dengannya. Ia tersenyum mengangguk. "Sampai jumpa," ujarnya kemudian sebelum kembali menaikkan kaki dan mengayuh sepedanya, putar balik meninggalkan Kim Ah Reum disana.

Beberapa meter mengayuh sepeda, dahinya mengernyit seketika. Ia tak merasakan apapun sewaktu membonceng Kim Ah Reum tadi, mengayuh seperti biasa tanpa merasakan adanya tambahan beban, tapi ternyata kini tungkainya baru terasa berat dan pegal. 


.

.

.

tbc

Sepertinya para tokoh dalam semua ceritaku menganut prinsip, "no bucin no life."



















Blue Hair ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang