26-Walk You Home

22 6 0
                                    

Lelaki ini tidak bercanda waktu dia bilang akan mengantarku. Kupikir kami akan naik kendaraan, kalau bukan kendaraan miliknya entah naik taksi ataupun bis. Namun, kami malah berjalan kaki melewati jalan kecil yang sepi dan diterangi oleh cahaya remang-remang.

"Banyak penggemar menunggu diluar, aku mengkhawatirkanmu," katanya saat membawaku berjalan melalui arah lain. Padahal dirinya lah yang patut dikhawatirkan di sini.

Begini, ketika aku sampai di rumah nanti, apakah dia akan berjalan kaki lagi untuk kembali ke tempat asalnya?

Aku suka padanya. Tapi, dia agak aneh. Bisa-bisanya ada orang yang mau merepotkan dirinya sendiri. Hanya saja, alih-alih protes, aku hanya diam berjalan beriringan dengannya hingga area perumahan tempat tinggalku mulai terlihat di depan mata.

"Kau tau banyak jalan pintas, ya?" Aku membuka suara, membelah sepi. "Cukup mengejutkan malah kau yang tau jalannya menuju rumahku."

"Dulu aku sering jalan-jalan tanpa arah bersama Jaemin."

"Kalian dekat banget, ya."

"Begitulah." Tiba-tiba saja langkahnya terhenti, ia meraih lenganku yang sudah di depannya dan menarikku kembali ke sampingnya. Kusadari kalau aku begitu ringan. "Kau ini sengaja, ya," lanjutnya kemudian berjongkok di hadapanku. Membuatku ingin mundur tapi dia sudah lebih dulu meraih tali sepatu yang terlepas di sisi kiri.

Ah, talinya mencari masalah. "Untuk apa aku sengaja mengambil resiko untuk terjatuh dan menanggung malu?"

Usai mengeratkan ikatannya, ia kembali berdiri di hadapanku. Kepalaku sedikit menengadah menatap wajahnya yang hanya disinari cahaya remang-remang. "Aku pernah baca buku, katanya kalau bertemu seseorang yang tali sepatunya terlepas, itu artinya berjodoh."

Wah. Ucapannya membuatku speechless. Sampai-sampai aku hanya bisa tertawa pelan. "Jadi, menurutmu aku berharap padamu dengan sengaja melepas tali sepatu?" kataku. Yang benar saja. Tali sepatu sialan, dia tak pernah lepas sembarangan sebelumnya.

"Jangan dianggap serius, aku main-main." Dia balas tertawa hingga netranya nyaris tertutup sempurna.

Aku berdecak dalam hati. Saat hendak melanjutkan langkah, lenganku kembali ditahan olehnya. Pandanganku langsung terpaku lagi padanya.

Mengedip sekali, kutatap netranya yang mencoba menghantarkan sesuatu. Suara angin mendesak menemani senyap yang tiba-tiba merayap. Kedua alisku terangkat ke atas dengan netra yang masih menatap. "Wae?"

"Ah? Tidak." Sontak ia menggeleng pelan. "Tidak apa," lanjutnya sebelum tiba-tiba meraih tangan kiriku dan menggenggamnya. "Ayo." Lantas membuat kami kembali melanjutkan langkah.

Aku meneguk saliva, melirik tangan kananku yang digenggam olehnya di sela-sela langkah. Ada detak abnormal dalam dada, tengah dirinya masih terlihat santai seolah sudah sering melakukannya.

Diam-diam aku mengulum bibir, sesekali melirik singkat padanya. Memandang sekilas garis wajahnya dari samping. Aku baru menyadari dia tidak seperti biasanya.

Entahlah. Dalam perjalanan, aku mengamatinya dengan merasakan hal yang berbeda. Seperti bukan Lee Jeno yang kutemukan di sekolah, di gedung agensi, dan terkadang di gedung stasiun tv. Hanya seseorang yang kebetulan kukenal.

"Lumayan jauh, ya."

"Kau tidak takut dikenali orang-orang?" ujarku kemudian alih-alih menimpali pernyataannya barusan. "Kau terlihat santai keluar tanpa menyamar." Kuangkat gandengan tangan kami. "Sambil menggandeng tanganku pula"

Ia tertawa, melirik genggaman tangan kami dan membuatnya semakin mengerat. Hangat.

"Memang ada siapa lagi di sini selain kita?" Dipandangnya wajahku masih dengan senyum manis yang terpatri.

Aku mengalihkan pandangan. Bahaya kalau aku lama-lama menatapnya. "Benar juga."

Beberapa rumah sudah terlihat. Rumahku tepat sekitar dua belas meter di hadapan kami. Ia masih menuntunku untuk melangkah lebih dekat.

Tidak bisakah rumahku terletak lebih jauh lagi? Aku melirik lagi ke arah tangan kami yang masih bertaut satu sama lain. Aku tidak ingin melepasnya secepat ini.

Langkah kami sama-sama terhenti. Ia menatap ke arahku kemudian dengan kedua sudut bibir yang sedikit tertarik. "Sampai," katanya, lantas melepaskan tautan tangannya dariku. "Masuk, angin malam ini sangat dingin. Kau bisa sakit."

Mustahil. Aku tak merasakan dingin sama sekali walau sesekali angin malam memang datang mendesak. Seulas senyum yang sedikit dipaksakan kulemparkan padanya. "Kau kembali berjalan kaki?"

Ia menggeleng, menaikkan tudung hoodie yang dikenakannya, menunjuk jalan di belakangku dengan dagunya. "Aku lewat sana, langsung ke jalan raya dan mencari taksi di sana," jawabnya, "besok kau masih ke kantor agensi?"

"Entahlah, aku ingin menyerahkan sisanya pada Produser Yoon. Rasanya terlalu lelah untuk bolak-balik studio dan kampus. Belum lagi tugas-tugas yang menumpuk, latihan yang semakin rutin, dan jikalau ada proyek kelompok —" Mulutku tertutup seketika dengan kalimat gantung. Aku terlalu banyak bicara. "Maaf aku jadi mengeluh padamu."

Alih-alih merasa risih dan terganggu ia malah tersenyum. Laki-laki ini memang hobi tersenyum kecuali sedang badmood. "Tidak masalah, aku senang bisa jadi tempatmu menuangkan keluhan. Kau bisa datang padaku kapan saja setiap ingin mengeluh."

Pandanganku jatuh ke arah sepatu kami yang kini saling berhadapan. Aku mengulum bibir, berusaha untuk tidak terlalu percaya diri. Tapi, mana bisa??

Lantas, kembali kulayangkan senyum yang kubuat senatural mungkin tanpa terlihat berlebihan tatkala mengangkat pandangan. Aku mengangguk singkat. "Yang lain pasti mencarimu."

"Aku tidak pergi sampai melihatmu masuk rumah."

"Aku juga tidak akan masuk sampai melihatmu berjalan pulang?"

"Kau berencana menahanku?"

"Ramyeon meoggo gallae?"

Seketika kami berdua bungkam. Dia menatapku dengan pandangan yang tak terbaca, sementara aku hanya bisa mengulum bibirku yang tak bisa dijaga. Keheningan langsung merayap begitu saja.

"Tidak jadi," sergahku, "sepertinya stok ramen instan di rumahku sudah habis, keluargaku juga akan segera pulang, dan ini sudah malam. Jadi kau bisa pergi sekarang."

Tidak terduga, laki-laki ini malah mengulas senyumnya. "Di rumahku ada. Mau ke sana?"

Astaga, kemana pembicaraan ini pergi. Aku menatap tak percaya. "Kau saja, pergi sana, aku mau masuk rumah," kataku kemudian sebelum berbalik dan melangkah menjauh darinya.

Sepertinya aku terlalu banyak bicara, dan terlalu banyak menebar kebodohan.

Aku melewati pagar rumah tanpa menoleh lagi ke belakang. Sepertinya dia juga sudah meninggalkan tempatnya.

Begitu masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu, aku langsung menuju dapur untuk mengambil air minum. Lelahnya berjalan lumayan jauh baru terasa sekarang.

"Sudah pacarannya?"

Aku yang baru saja meneguk air tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut begitu mendengar suara ibuku yang tiba-tiba datang.

Aku menaikkan sebelah alis. Ah, ternyata dia melihatnya. "Memang siapa yang pacaran?"

"Mau sejauh apa hubungan kalian?" Aku menatapnya bingung. "Diantar pulang, pegangan tangan, kenapa tidak sekalian ciuman di depan rumah?"

Perkataannya sukses membuatku terkejut. Bisa-bisanya dia berkata begitu?

"Areum -ah, bukannya ibu sudah memberitahu?" ujarnya lagi. "Tentang apa yang pernah ku alami, dan kenapa ibu memperingatimu untuk tidak lebih jauh?"

.
.
.
tbc

Selamat akhir pekan.


Blue Hair ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang