Epilog

70 7 1
                                    

"Hey, Areum, apa yang kau persiapkan untuk pertunjukan minggu depan?"

Pandanganku ke arah lapangan rumput di belakang asrama terputus. Lantas menoleh ke belakang. Aerin, seorang gadis bersurai pirang lurus panjang, teman sekamarku yang ternyata berasal dari Seoul juga, tengah duduk di atas tempat tidurnya menunggu jawaban dariku.

Tanganku terlipat di depan dada, kemudian menyandarkan diri pada kusen jendela. "Aku belum memikirkannya. Kemungkinan besar laguku sendiri yang akan kubawakan."

Aerin hanya mengangguk menanggapi. Ia kembali menatap padaku kemudian. "Sudah seminggu di sini, tapi kau masih saja jarang berkumpul di luar."

"Adaptasi itu memang sulit," jawabku, "aku tidak terbiasa."

"Kenapa kau memilih musik?"

"Aku suka."

"Kenapa di sini?"

Aerin ini banyak tanya. "Tempat ini yang menarikku ke sini."

"Kenapa meninggalkan kampus terpandang seperti SNU? Yang masuk ke sana perlu belajar dari pagi hingga pagi?"

Aku tersenyum samar. Kembali memandang ke arah luar jendela. "Apa lah arti nama besar kampus? Kalau kemampuanku justru lebih terpandang hingga sekolah musik terbaik merekrutku."

"Nah! Gitu, dong! Sombong!" Aerin berdiri dari duduknya. Ia mendekat padaku. Aku tidak berniat sombong, hanya bergurau saja dengan dia. Gadis ini tanpa aba-aba langsung meraih tanganku. "Selera humormu bagus, ayo bergabung dengan teman-teman yang lain. Kau tidak bisa menghabiskan waktu tanpa sosialisasi."

Dia menarikku dengan semangat, hingga rambutku yang tergelung kini menjuntai hingga punggung. Aku dibawanya keluar dari kamar dan turun melewati tangga. Masuk ke dalam ruangan dimana beberapa orang tengah berkumpul sembari menikmati cemilan sore.

Mereka adalah perkumpulan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari Korea Selatan yang juga kebetulan belajar di tempat ini.

Salah satu dari mereka, menggeser duduknya, memberikan aku dan Aerin ruang.

Ruangan ini adalah tempat yang sering digunakan mahasiswa dari asrama laki-laki dan perempuan untuk berkumpul.

Jumlah mereka di sini sekitar dua belas orang.

Mereka ramah. Sebagian menyapaku dan Aerin dan beberapa menyodorkan dan menawarkan cemilan untukku. Aerin dengan mudah menyerobot masuk ke dalam obrolan mereka.

Ternyata mereka tengah berdiskusi tentang beberapa lagu yang sedang trend saat ini. Mungkin karena baru kenal, mereka memilih topik pembahasan yang tak begitu jauh dari fokus studi mereka.

Sejauh ini aku hanya memperhatikan mereka berbicara. Aku perlu melihat dulu seperti apa cara mereka bercengkerama sebelum ikut mengangkat suara agar tak terjadi kesalahan. Supaya aku tahu juga apa aku cocok atau tidak dengan mereka.

"Ah Reum, bagaimana denganmu?"

"Aku ... ah, iya, lagu yang terlalu lambat dan santai seperti itu bukan tipeku. Jadi, aku tidak terlalu mendengarkannya."

"Kalau untuk bersantai atau istirahat? Kau mendengarkan?" Aerin sambung bertanya.

Aku menggeleng pelan. "Tidak terlalu," jawabku.

Mereka kembali melanjutkan pembicaraan mereka sementara aku hanya memperhatikan. Hanya berbicara seperlunya itu pun hanya ketika ditanya.

Perhatianku terfokuskan pada seorang lelaki berkaos putih yang duduk tepat di hadapanku tengah berbicara, mengeluarkan pendapatnya. Kuperhatikan saja cara ia berbicara.

Entah mengapa caranya berbicara, rangkaian kata tentang pendapatnya yang dia keluarkan. Membuatku begitu tertarik lebih dari sekedar mendengarkan. Menakjubkan.

Tanpa sadar senyum samar terulas. Saat hendak membuka mulut ingin menimpali, entah bagaimana lagi suara Jeno, perkataannya sewaku di bandara beberapa hari lalu kembali terputar begitu saja dalam kepalaku.

"Boleh aku menunggumu?"




.
.
.
Epilog

Blue Hair ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang