kemarin ada yang nungguin gak?
Sumpah ya first media ngajakin ribut bgt.
Aku mau update lewat hape orak bisa, kan naskahnya di PC.
Jadi nunggu malam ini deh..
semoga gak pada ngamuk yaw bacanya..
------------------------------------------------------------------
Kadang aku bersyukur merasa terluka. Karena akhirnya aku sadar, tidak terus menerus terjerat dalam drama cinta yang tidak berguna.
Melangkah dengan hati-hati, Hawa mendorong pintu ruang perawatan lantai 3 ini. Kesan pertama saat pintu tersebut dibuka, Hawa hanya melihat jendela besar dengan dinding putih yang mengelilingi ruangan ini. Akan tetapi saat pandangan matanya Hawa arahkan ke salah satu sudut ruangan, ternyata ada beberapa orang yang sedang menatap ke datangannya.
"Ida ...."
Ayduha Huwaida, atau yang selalu Hawa panggil dengan nama Ida, menatapnya dengan manik mata berkaca-kaca.
"Hawa ...."
Tangis itu tidak bisa tertahan. Beberapa waktu itu tidak pernah bertemu, bahkan tidak bertukar kabar sekalipun, barulah Hawa sadar ke mana perginya sahabat sekaligus mantan asistennya ini.
***
Pemandangan yang cukup menganggetkannya berusaha untuk Shafa kendalikan dengan baik. Ketika langkahnya masuk ke salah satu ruangan pasien, dia melihat kondisi yang tidak pernah tertebak sebelumnya.
Ada perempuan itu di sana. Perempuan yang beberapa waktu itu membuat adiknya memiliki banyak pikiran panjang untuk masa depannya kelak. Akan tetapi, saat melihat kondisi ini, Shafa menjadi tidak yakin benarkah perempuan itu kelak menjadi masa depan adiknya?
"Mbak Hawa?"
Karena sudah masuk ruangan ini, dan melihat ada Hawa di sana, mau tidak mau Shafa menegurnya. Walau dia tidak tahu ada hubungan apa Hawa dengan pasiennya ini, namun karena Shafa merasa mengenal Hawa maka dia wajib bertanya dan bertegur sapa.
"Dokter Shafa."
Dari yang Shafa lihat, mata gadis itu membengkak. Hidungnya memerah. Tapi dari ekspresinya kini, terlihat jelas Hawa menutupi semua itu dengan senyuman palsunya.
"Mbak Hawa ada di sini?"
"Ah ... iya," jawabnya masih tersenyum dengan pahit. Namun setelahnya, saat Shafa menunggu kalimat lanjutannya, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut Hawa.
"Kalau begitu saya izin melakukan pemeriksaan terlebih dahulu."
Sudah menjadi pasien tetapnya di rumah sakit ini, Shafa perlahan melakukan tahapan pemeriksaan. Sekalipun dia tidak melihat ke arah di mana Hawa, Shafa tetap berusaha memasang pendengarannya dengan baik.
"Kondisi sudah mulai membaik. Pasca operasi, lukanya walau belum sembuh, karena bapak ada gula, tapi semuanya sudah oke. Jaga terus ya, Pak. Makanannya, pantangannya jangan dilanggar."
"Makasih banyak dokter cantik. Saya betah di sini lihat dokter."
"Saya malah sedih kalau merawat bapak begini terus. Saya ingin bapak sembuh dan keluar dari rumah sakit ini untuk kembali pulang dengan keluarga."
"Kalau saya pulang, berarti ada dua kemungkinan, Dok. Antara saya sehat, atau saya meninggal."
"PAPA!!!"
Shafa melirik ke arah perempuan yang dia ketahui bernama Ida, anak dari pasiennya ini.
"Jangan begitu, Pak. Bapak harus sembuh. Jangan bicara seperti itu lagi, ya. Kalau Bapak berpikir seperti itu terus, sama saja Bapak membuat saya sedih."
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAM PILIHAN HAWA
SpiritualYang baik, belum tentu jodohmu. Namun yang sudah menjadi jodohmu, pastilah yang terbaik atas pilihanNya. Dihadapkan dengan banyak pilihan untuk pendamping hidup, Hawa memilih diam dan berusaha kabur atas semua ini. Bukannya dia tidak mau melangkah u...