Hawk berjalan cepat-cepat dengan pincang. Rebecca tidak ada di rumah. Sejak kematian Ikarus, nenek pasti mencarinya ke mana-mana. Nenek sudah rabun dan tak bisa mengurus dirinya sendiri, dia pasti sudah bersusah payah selama ini.
Hawk terus berkeliling distrik 9 selama dua hari penuh, bertanya-tanya pada setiap orang yang ditemuinya tentang seorang wanita tua yang tak kunjung pulang. Mereka semua menggelengkan kepala, tak tahu siapa yang dimaksud, tak pernah pula mereka lihat wanita yang hilang itu.
Stasiun menjadi tujuan Hawk selanjutnya, barangkali nenek pergi ke stasiun dengan harapan bahwa cucunya akan pulang. Tapi hasilnya selalu sama, tidak ada yang tahu di mana keberadaan nenek. Dia mencoba meminta bantuan dari petugas keamanan, namun Hawk malah mendapat sesal. Seharusnya dia tahu kalau dia cuma bisa bergantung pada dirinya sendiri, karena sejak lahir Hawk sudah sendirian di dunia ini.
Akhirnya Hawk memutuskan untuk menjelajahi distrik 10. Pikirnya, Nenek pasti salah mengira arah dan tersesat.
Rerumputan yang tumbuh lebih tinggi dari tubuh Hawk terus ditabrak dan diinjaknya dengan kejam. Tidak dipedulikan rasa lelah maupun gatal-gatal di kakinya. Ke mana pun dia pergi, nenek tetap tak pernah muncul di hadapannya.
Anak itu masih penuh harap, entah harus berharap pada siapa.
Perbatasan distrik 10 telah dilewatinya. Dia terus melangkah menyusuri pinggiran sungai deras, terus berjalan ke mana pun aliran ini membawanya. Hawk sudah tidak peduli lagi ke mana kakinya akan melangkah.
Deretan waktu dan jarak yang telah ia lewati telah membawanya kembali ke sebuah keputus asaan. Kala itu hujan mengguyur tanpa ampun, membasahi tubuh Hawk sampai menggigil. Bocah itu pikir, setidaknya hujan dapat menghapus air matanya yang jatuh secara tak sengaja.
Dia menghentikan langkah kakinya sesaat setelah menemukan sepotong pakaian yang tersangkut ranting tepat di samping sungai. Hawk masih ingat dengan baik corak pakaian milik Rebecca. Dan, harapan terakhirnya kini telah sirna sepenuhnya. Kini, Hawk benar-benar sendirian di dunia ini.
Aliran sungai itu terus diikutinya menuju ke sebuah tempat asing yang tak pernah Hawk lihat. Tanah yang becek membuat kakinya terasa begitu berat. Tapi tidak sedikitpun dia mau menggubris.
Pepohonan lebih banyak tumbuh di luar distrik ini, barangkali jumlahnya mencapai ratusan atau ribuan.
Bocah lelaki itu ingin tahu, apakah jalan ini akan mengantarnya pada kematian? atau mungkin setidaknya ke sebuah tempat yang akan mempertemukannya dengan Orion dan Akasa.
Tidak ada gunanya juga tetap hidup tatkala jiwanya kosong. Tidak ada gunanya hidup dengan tujuan yang telah hilang. Bahkan, perjalanannya sendiri ke antah berantah harus terhenti akibat sebuah tembok yang menjulang tinggi dan membentang sangat panjang, menghalanginya untuk dapat berjalan lebih jauh lagi.
Aliran deras sungai menyusup ke bawah tembok hingga menghasilkan buih-buih yang tak terhitung jumlahnya. Hawk melangkahkan kaki, berniat menyeret dirinya bersama buih-buih itu, lalu menghilang bersamaan dengan rintik hujan yang mulai terhenti.
***
Badai yang mengamuk di pagi hari itu pasti punya alasan tersendiri, entah untuk menghukum manusia-manusia bumi yang serakah, atau sekadar melampiaskan rasa kesalnya saja. Tapi Robin selalu menganggap kalau badai ini memang diperuntukan untuk dirinya, sebab dia adalah orang paling serakah di dunia.
Mungkin kata ‘Amukan Badai’ cocok untuk judul puisinya yang satu ini. Robin berpikir keras hingga kulit-kulit di dahinya mengerut hebat. Orang-orang bilang terlalu banyak berkerut tidak baik untuk kesehatan kulit. Penuaan dini akan lebih mudah terjadi pada pria yang terlalu banyak berpikir. Ketika becermin, barulah Robin menyadari kalau apa yang mereka katakan itu benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Cruiser : After Apocalypse
Science FictionSembilan puluh delapan persen teknologi yang pernah dibuat manusia telah musnah, termasuk kendaraan laut dan kendaraan terbang yang sekarang hanyalah sebuah dongeng yang dikisahkan guru sejarah. Manusia menjadi makhluk bumi yang langka. Semuanya ter...