Robin

1 1 0
                                    

Robin kira semuanya akan berjalan sesuai dengan harapan, namun terkadang kejamnya realitas lebih condong kepada masyarakat yang berasal dari distrik kecil.

Dia tidak ingin Hawk kecewa lantaran peraturan tentang syarat memasuki kota mendadak berubah. Sebelum disahkannya perubahan, peraturan itu berisi pengecualian bagi anak-anak yang berhasil lulus ujian beasiswa sekolah khusus.

Semua itu berubah hanya dalam waktu satu minggu sebelum keberangkatan Hawk. Robin tahu betul kenapa lembaga pendidikan berbuat demikian. Kecoa-kecoa busuk itu tidak akan sudi mengeluarkan sepeser pun uang untuk membiayai pendidikan masyarakat miskin, terutama ketika mereka mengetahui bahwa Hawk adalah manusia bermata hitam.

Pemikiran purba itu masih saja melekat erat seperti noda-noda bandel yang menempeli otak mereka. Paham soal warna mata tidak pernah berubah sejak dahulu. Mereka selalu berpikir bahwa manusia yang berasal dari ras bermata biru dan hijau jauh lebih unggul. Mereka cuma mengarang banyak cerita agar merendahkan orang-orang dari ras tertentu dianggap sebagai hal yang biasa.

Robin semakin muak dengan Negeri ini, terutama mengenai sistem kelas di masyarakat dan kesenjangan sosial yang semakin di luar nalar.

"Kau terlihat sedang kesal."

Robin menoleh, tidak menyadari kehadiran Hawk yang sejak tadi memerhatikannya dalam diam.

"Ah, aku sedang memikirkan judul yang bagus untuk puisiku selanjutnya."

Hawk menatapnya lekat-lekat, hampir meruntuhkan pertahanan diri Robin yang sudah retak. Robin selalu mengajarinya agar menjadi manusia yang jujur, dan karena itu Hawk tahu betul seperti apa aroma kebohongan.

Robin menahan diri agar tidak memainkan jari-jarinya —seperti yang biasa dia lakukan ketika gugup.

Tanpa berkata-kata lagi Robin segera beranjak, mengambil mantel hitamnya yang tergantung di balik pintu dan memasang sepatunya dengan rapi.

Jarang sekali Robin mau memakai sepatu kulit hitam yang dirasa tak nyaman ini. Robin berharap Hawk tidak menyadari tingkah anehnya.

"Mau ke mana?" tanya Hawk.

"Aku sedang ingin mencari inspirasi. Hari ini rasanya imajinasiku sedang buntu."

Robin menyisir rambut panjangnya dengan rapi, mengikatnya dengan karet gelang serta menata janggut tipisnya agar tidak terlihat berantakan. Hawk mungkin mengira Robin akan pergi berkencan. Terserah apa yang dipikirkan anak itu, Robin hanya ingin menjalani tugasnya.

"Kalau sudah bosan kau boleh pulang ke rumahmu." katanya pada Hawk. "Tidak perlu repot-repot menjaga gubuk ini. Tolong jangan lupa mengunci pintunya ketika kau pulang."

Robin mengusap kasar rambut anak itu, lalu pamit tanpa menoleh ke belakang. Dia tidak begitu yakin apakah besok dia akan bisa kembali ke gubuknya lagi atau tidak. Dia juga tidak yakin apakah besok dia masih punya kesempatan untuk bisa bertemu lagi dengan Hawk.

Soal gubuk tidak lagi dipedulikannya. Toh, hampir tidak pernah ada orang yang berani berkeliaran di luar distrik. Jika gubuknya tiba-tiba hancur, paling-paling itu cuma ulah para anjing liar.

Busuknya lembaga pendidikan memang sudah dimulai ketika lembaga itu masih berbentuk benih. Robin bersumpah tidak akan memaafkan mereka semua karena telah menghalangi murid kesayangannya. Dia akan mendatangi mereka dengan cara terhormat, dan itu artinya Robin harus menyerahkan diri secara sukarela kepada pemerintah.

Sebagian warga distrik 9 mungkin mengenal nama Robin sebagai seorang guru seni di sekolah umum. Sedangkan masyarakat distrik 10 tahunya Robin adalah seorang guru yang dengan sukarela mau mengajari anak-anak di distrik mereka. Tapi tidak ada satupun yang tahu tentang siapa Robin sebenarnya.

Sky Cruiser : After ApocalypseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang