“Kau tidak terlihat seperti sedang berlibur.” Cori menyipitkan mata, menilik satu-satu dari mereka dengan aneh. Dia lalu tertawa.
“Kalian kacau.” komentarnya lagi.
Malaka memukul pelan kepala Cori dengan sarung tangan karet dan memelototinya dengan galak.
“Aku tidak menyangka,” ucap si pria botak dengan gugup. “Ada orang lain yang berhasil selamat dari bencana apocalypse.”
“Apocalypse?” sebutan itu terdengar berlebihan bagi Cori. “Oh, Maksudmu perang dunia ke-tiga?”
“Apa yang terjadi pada kalian?” Suatu keajaiban Malaka bicara lebih dulu, membuat mulut Cori sampai-sampai menganga. Malaka jadi banyak bicara! Ini adalah momen langka yang harus diabadikan dalam album kenangan.
“Ceritanya panjang,” kata Pria itu dengan getir, dia setengah ingin menangis. Barangkali terharu atau terlalu sedih karena suatu hal.
“Aku senang kita berbicara dalam bahasa yang sama(*).” Cori memberikan tangannya, mengajak pria alien untuk berjabat tangan, sekadar perkenalan formal. “Namaku Corium, kau bisa memanggilku Cori.”
Dia bingung, si pria alien masih menimbang-nimbang sesuatu. Ah, pasti dia heran dengan nama Corium itu. Alih-alih membahasnya lebih jauh, si pria alien menerima jabat tangan Cori dengan tangan kirinya sehingga tidak terkesan seperti sedang berjabat tangan. “Aku Robert.”
Langit mendadak kembali gelap. Padahal Nara memperkirakan panas akan menyengat siang ini, namun seperti biasanya cuaca memang suka sekali bercanda.
Malaka dengan sigap membuka pintu logam horizontal yang terletak di dekat benteng bandara, menggiring satu per satu dari mereka menuju ke sebuah kota di bawah tanah. Sebelum amukan badai sampai, mereka semua telah hilang ditelan bumi.
***
Hawk terbangun dengan keringat dingin mengalir hampir di sekujur tubuhnya. Napasnya terengah-engah. Baru saja dia mengalami mimpi yang aneh. Biasanya di setiap tidurnya Hawk selalu memimpikan hal yang sama –tentang sosok Orion dan Akasa yang memekik kesakitan meminta pertolongannya. Tapi mimpi barusan tak lagi sama. Lily membayang-bayangi dunia mimpinya yang gelap, membuat nyeri di dadanya terasa semakin buruk.
“Kau sudah bangun rupanya.” Seorang wanita berambut panjang dengan syal menutupi separuh wajahnya datang dari arah pintu sambil membawa nampan berisi mangkuk dan sebuah cangkir.
“Kau kelelahan.” katanya. “Untungnya tak ada luka. Hebat sekali kau cuma tertidur selama satu jam sejak kami membawamu ke sini. Kau mungkin mengalam jetlag. Perbedaan waktu kita cukup jauh, hampir lima belas jam! Cukup gila juga!”
“Di mana aku?” Hawk linglung. Ingatannya jadi kacau. Hal terakhir yang bisa dia ambil dari sel memorinya adalah ketika dia dapat melihat lepas pantai dari dalam Little Eagle, kemudian kesadarannya terenggut oleh rasa lelah yang keterlaluan.
“Bangsal bekas kapal induk.” Wanita itu sibuk menggeser-geser meja logam yang berat. “Kau sudah sampai di pulau Kalimantan.”
“Kapal induk?”
“Bekas kapal induk, tepatnya.” Wanita itu membenarkan. “Markas kami Para Pemburu.”
Kepala Hawk masih berkunang-kunang. Tidak disadarinya bahwa ruangan putih dengan cahaya terang ini benar-benar asing baginya. Kasur yang ditidurinya adalah kasur rumah sakit dengan ranjang logam. Tidak ada kaca jendela, satu-satunya jalan keluar-masuk hanyalah sebuah pintu geser yang terlihat baru saja di cat ulang.
Kesan ‘bekas’ kapal induk sama sekali tidak cocok untuk ruangan sebersih ini.
“Makan lah ini.” seru wanita itu sambil mensejajarkan meja yang sedari tadi susah payah digesernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Cruiser : After Apocalypse
Science-FictionSembilan puluh delapan persen teknologi yang pernah dibuat manusia telah musnah, termasuk kendaraan laut dan kendaraan terbang yang sekarang hanyalah sebuah dongeng yang dikisahkan guru sejarah. Manusia menjadi makhluk bumi yang langka. Semuanya ter...