EMPAT PULUH

33.8K 1.8K 54
                                    

Baru saja Kania hendak memasuki kelas, namun pemandangan tidak menyenangkan langsung menyerang pengelihatannya. Seseorang yang namanya Kania maki semalaman kini berdiri di ambang pintu kelas. Mereka berdua saling melempar tatapan sengit. Bahkan orang-orang yang berada tidak jauh dari mereka bisa merasakan aura permusuhan yang kental antara keduanya.

Alci hendak membuka mulutnya untuk bicara, namun sebelum suaranya terdengar, Kania langsung berjalan begitu saja melewati Alci.  Menatap cewek itu saja sudah membuat Kania muak, apalagi mendengar suaranya. Bisa-bisa Kania muntah di tempat.

Alci berbalik dan menatap punggung Kania sengit. Tidak usah ditanya bagaimana perasaannya saat ini. Jelas dia sangat-sangat tersinggung. Awalnya ia ingin membicarakan soal kejadian kemarin, namun melihat sikap menjengkelkan Kania, niatnya ia urungkan. Karena Kania sudah mengibarkan bendera permusuhan lebih dulu, maka dengan senang hati dia meladeni temannya itu.

Niatnya untuk pergi ke kantin hilang begitu saja akibat mood yang hancur. Alci memutuskan untuk kembali ke bangkunya, berjalan cepat melewati Kania dan dengan sengaja menubruk bahu cewek itu dari belakang. Untuk yang terakhir itu baru ekspetasinya. Realitanya, bahu Alci tidak setinggi bahu Kania. Jadi, Alci hanya bisa menubruk lengan Kania, sekitar sepuluh centi di atas siku.

Kania mendengus geli. "Kekanakan banget," gumamnya. Sesampainya di bangku ia segera duduk dengan punggung bersandar.

Selena yang sedari awal memperhatikan Kania dan Alci langsung dilanda rasa penasaran. Siapa pun yang melihat interaksi antara Kania dan Alci tadi pasti tahu bahwa mereka sedang ada masalah. Karena itu ia segera bertanya pada Kania dengan harapan dapat memenuhi rasa penasarannya. "Lo sama Alci lagi ada masalah, ya?" tanyanya.

Bukannya menjawab, Kania memilih pura-pura tidak mendengar. Ia menyumpal earpod di kedua telinganya, lalu bersenandung kecil. Tindakannya itu sukses membuat Selena dongkol. Sambil menggertakkan gigi-giginya, Selena beralih ke bangku Alci dan bertanya pada cewek bertubuh pendek itu.

"Ci, lo sama Kania kenapa, sih? Ada masalah apa lo sama dia?" tanya Selena.

Alci mendongak untuk melihat Selena. Dengan santai ia menjelaskan, "Cowoknya dia itu cowok gue juga." Ia melirik Kania—yang kelihatannya tidak mendengar apa yang ia katakan—lalu beralih lagi melihat Selena.

"Ah? Jadi ... Bara—"

"Jadi Bara pacar gue juga. Kania marah ke gue karena Bara lebih milih ngabisin waktunya sama gue."

"Gila lo, Ci? Sejak kapan lo pacaran sama Bara?"

"Pokoknya setelah Kania sama Bara pacaran." Alci sekali lagi melirik Kania, sepertinya Kania memang benar-benar tidak mendengarnya. "Ya gimana, dong, Bara suka sama gue. Ya gue sebenernya juga tertarik sama dia. Karena kita saling suka, jadi Bara lebih sering ngebisin waktu sama gue. Dan Kania sekarang marah soal itu. Dia nggak terima kalau Bara lebih milih gue daripada dia."

"Tapi dia kan pacar temen lo. Masak lo embat juga. Seenggaknya tunggu putus kek." Meski Selena bukan orang yang menjunjung tinggi pertemanan, namun ia tidak setuju dengan orang yang suka merebut 'milik' temannya.

"Cepet atau lambat Kania sama Bara bakal putus, kan."

"Ya tapi kan ...." Selena menghela napas panjang, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. "Selera kalian bener-bener ...." Sejak Bara menghajar pacarnya sampai babak belur, Selena jadi menyimpan dendam pada Bara. Mungkin karena itu ia tidak bisa melihat sisi menarik dari Bara, yang mampu membuat cewek-cewek klepek-klepek itu. Ia juga tidak pernah berpikir bahwa dua temannya malah berhubungan dengan cowok yang terkenal brengsek itu. Apa mereka sudah tidak waras?

Kania yang sebenarnya tidak memutar musik apa pun jelas mendengar semua omong kosong Alci. Ia tertawa kecil penuh dengan ejekan yang ditunjukkan pada diri sendiri. Kania tidak habis pikir, mengapa ia bisa berteman dengan orang bodoh itu?

IDENTITY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang