DUA

61.6K 3.3K 50
                                    

Di rumah bercat putih bernuansa modern, dua orang cewek masuk melalui pintu utama rumah. Kania berjalan di belakang Lucy, jarak mereka terpaut lima meter.

"Ceritain apa yang lo alami ke Mama sama Papa. Masalah sepenting ini nggak boleh dirahasiain." Kania mengedarkan pandangannya dan berhenti tepat pada pintu geser berwarna putih yang tertutup rapat.

"Mama di kamar."

Lucy menoleh dengan wajah masamnya. Cewek itu mendengus kasar. "Jangan berusaha jadi kakak yang baik. Gue nggak suka." Lucy berjalan sempoyongan menuju kamar orang tuanya.

Menghela napas, Kania berjalan sambil menatap punggung Lucy. Mereka berdua masuk tanpa mengetuk pintu.

Di dalam kamar, Fara—ibu mereka—sedang duduk di depan meja rias. Wanita berparas rupawan dengan aura super anggun itu tengah menghapus make up di wajahnya.

Fara memandang dua putrinya melalui cermin. "Kenapa? Tumben ke kamar Mama barengan," ucap Fara. Wanita berusia tiga puluh tujuh tahun itu memutar tubuhnya menghadap Kania dan Lucy.

Lucy menunduk sambil mengambil duduk di tepi ranjang Fara. Kania mengikutinya dan duduk di sebelah Lucy.

"Papa di mana?" tanya Kania.

"Di sini." Papanya, David, keluar dari kamar mandi dengan mengenakan piayama berwarna biru tua. Pria itu memperhatikan kedua anaknya sesaat, lantas beralih melirik jam dinding. "Kalian baru pulang?" tanya David.

Kania hanya mengangguk sebagai respon. Ia melirik Lucy yang berdiri di sampingnya. "Lucy mau bicarain sesuatu."

Otomatis, fokus Fara dan David mengarah pada Lucy yang sedari tadi berdiri dengan kepala menunduk. Alis kanan David terangkat, wajahnya sedikit heran. "Kamu kenapa?" David bertanya dengan suara lembut.

Lucy mengangkat kepalanya dengan perlahan. Lucy menatap David dengan mata memerah dan berkaca-kaca, bibirnya yang tertutup rapat sedikit bergetar. Dengan langkah kecil yang rapuh, Lucy mendekati David lalu memeluknya dengan erat. Gadis itu menangis dengan sedikit ditahan.

"Kamu kenapa, Lucy?" tanya Fara khawatir. Pandangannya lantas beralih pada Kania. "Lucy kenapa?"

Kania tidak menyahut dan hanya memandang Lucy yang masih menangis di pelukan David.

"Kenapa sih? Kalian buat Mama cemas." Fara beranjak mendekati Lucy. Tangan wanita itu terulur mengelus punggung Lucy dengan lembut. "Kamu kenapa, Lucy?" tanya Fara cemas.

Lucy melepas pelukannya. Cewek itu memandang Fara sambil sesekali menyeka air matanya yang mengalir tanpa perintah. "Mama... Lucy... Lucy hampir diperkosa." Tangis yang tadinya sedikit ditahan kini pecah. Tubuhnya bergetar dengan hebat. Raut takut begitu kentara di wajahnya. Lucy melepaskan pelukannya dengan David lantas melempar tubuhnya ke dalam pelukan Fara. Berulang kali bibirnya menggumamkan kata 'takut'.

Apa yang keluar dari mulut Lucy membuat Fara dan David terkejut bukan main. "Apa yang kamu bilang, Lucy? Hampir diperkosa?" Fara masih tidak percaya dengan pendengarannya. Wanita itu mendesak Lucy untuk mengatakannya sekali lagi.

Kepala Lucy mengangguk, "Iya. Lucy hampir diperkosa, Mama."

David menarik Lucy dari pelukan Fara. Ia menaruh kedua tangannya di pundak Lucy dan menatap dengan wajah serius, "Apa maksud kamu? Ceritakan ke Papa detailnya!" pinta David.

"Lucy takut. Lucy takut, Papa," ucapnya sambil menyeka air matanya yang terus mengalir.

David kini menengok ke arah Kania. "Apa yang terjadi sama adik kamu, Kania?"

"Aku nggak tau detailnya. Dia sama sekali nggak mau cerita ke aku," jawab Kania.

"Lucy, cerita apa yang terjadi," ulang David.

IDENTITY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang