Kania pulang dari rumah sakit menggunakan taksi. Sesampainya di rumah, ia berlari seperti orang kesetanan menuju kamarnya. Dia mengendarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, mencari-cari seragam sekolah yang kemarin dipakainya. Kamar yang pagi tadi berantakan kini sudah rapi, dan seragam yang kemarin Kania taruh di atas sofa kini tidak ada lagi. Buru-buru cewek itu berlari menuju ruang cuci pakaian yang berada di lantai dasar. Di sana ia membongkar tumpukan pakaian kotor.
"Di mana, sih?!"
Tidak lama Kania menemukan kemeja seragam itu. Ia merogoh kantung kemeja dan mengambil secarik kertas yang digulung. Kania membaca tulisan di kertas tersebut, lantas berlari keluar untuk mencari kunci mobil.
"Mau ke mana lo?" Lucy duduk di sofa sambil menonton televisi. "Lho? Lho? Mau ke mana? Ngapain ngambil kunci mobil? Lo, kan, belum punya SIM! Kania!" Lucy kontan berdiri ketika Kania mengambil kunci mobil dan langsung beranjak pergi tanpa menghiraukan perkataannya. Sikap Kania yang tak biasa membuat ia cemas. Dia segera mengambil ponselnya, menelpon Reno untuk memberitahu cowok itu soal Kania.
Sementara itu, Kania sudah mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya. Ia segera mengemudikan mobilnya ke alamat yang tertera di kertas yang diberikan Chacha kemarin. Kania yang biasanya pandai mempertahankan ketenangannya kini terlihat gusar.
Kania melajukan mobilnya dengan kecepatan gila, membuat pengendara lain menekan klakson dan memakinya. Namun semua itu tidak membuat Kania menurunkan kecepatan mobilnya.
Selang beberapa menit, Kania sampai di depan sebuah perumahan. Ia segera mengendarai mobilnya masuk ke perumahan tersebut, lalu mencari rumah ibu kandungnya. Untungnya, rumah Feli tidak terlalu sulit untuk ditemukan.
Kania tidak langsung turun, ia masih memiliki keraguan di hatinya. Sejujurnya, ia masih belum siap bertemu dengan Feli. Kenangan ketika Feli meninggalkannya membuat perasaan Kania menjadi dingin. Namun siap tidak siap, Kania harus bertemu Feli hari ini.
Setelah mengumpulkan tekad, Kania akhirnya turun dari mobil. Bertepatan dengan itu, mobil BMW hitam berhenti di samping mobilnya. Kania memperhatikan mobil itu sampai dua orang yang ada di dalam turun. Jantung Kania seakan berhenti berdetak saat pandangnya melihat sosok wanita cantik yang sudah lama tak dilihatnya.
"Lho, Kania? Kok kamu di sini?" Jordan bertanya sambil melihat Kania dengan bingung, namun Kania sama sekali tidak melihat ke arahnya. Pandangan mata cewek itu tidak pernah lepas dari Feli, kekasihnya.
Feli awalnya tidak menyadari siapa gadis berseragam SMA yang menatapnya dengan intens tersebut, namun setelah meneliti fitur wajah gadis itu, hati Feli mencelos. Mata berbentuk almondnya berkaca-kaca. "Oliv?" Suara Feli gemetar.
"O-Oliv?" Jordan melebarkan matanya, menatap Kania tak percata. "Olivia?"
"Kania Yujian," ucap Kania sambil meremas ujung roknya. "Bukan Olivia," lanjutnya.
"Jadi kamu Olivia?" Jordan masih tak percaya. Kenapa ia baru sadar sekarang? Pacar anaknya yang terlihat familiar itu ternyata bocah kurus kering yang dulu pernah ditemuinya sekali.
"Bisa kita bicara?" Kania melihat Jordan. "Berdua aja."
Feli menatap Jordan, mengisyaratkan Jordan untuk membiarkan ia dan Kania bicara berdua. Jordan yang mengerti segera mengangguk. "Kalau gitu aku pergi dulu. Kalau butuh sesuatu kamu bisa telpon aku. Oke?" ucap Jordan pada Feli.
Feli hanya tersenyum tanpa menjawab.
Setelah Jordan pergi, Feli membuka gerbang rumah lalu melihat ke arah Kania. "Kita bicara di dalem."
Kania berjalan mengikuti Feli.
Rumah Feli adalah rumah minimalis dua lantai. Di dalam rumah tersebut cukup bersih dan nyaman. Tatanan barang diatur sedemikian rupa sehingga terlihat estetik.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY (END)
Teen Fiction"Tadi lo bentak dia dan hampir aja main fisik. Dia itu pacar lo, lo nggak boleh bersikap kayak gitu." "Dia nggak terlalu penting. Pacar gue nggak cuma dia." Bara terdiam sebentar lalu menengokkan kepalanya ke samping, menatap cewek disampingnya. "La...