LIMA PULUH TUJUH

31K 1.7K 38
                                    

Reno menepuk-nepuk pelan punggung Kania. Cewek itu sudah lebih tenang, tapi terkadang air matanya mengalir meski tak deras. Tangan Reno kemudian bergerak menyentuh kening Kania. "Ka, badan lo panas." Reno khawatir, begitu pula dengan Lucy yang langsung menyentuh tangan Kania untuk memastikan suhu tubuh Kania.

"Gue capek." Kania berucap pelan. Dia memejamkan mata, merasa tubuh dan pikirannya teramat lelah.

"Ke kamar aja. Ngapain berdiri di sini? Dari sini ke kamar lo jauh, kalau lo pingsan di sini yang gendong capek," kata Lucy, nadanya terdengar acuh tak acuh tapi wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

"Cy, bukan waktunya nyari gara-gara," tegur Reno. Kemudian tanpa aba-aba, cowok itu langsung menggendong tubuh Kania ala bridal. Kania tidak memprotes, dia merasa lemas, untuk sekadar bicara saja ia membutuhkan banyak tenaga.

Sementara itu, Lucy mendengus kecil, lalu mengikuti Reno menuju kamar Kania.

Sesampainya di kamar Kania, Reno membaringkan tubuh cewek itu di ranjang. Ia menarik selimut, menutupi tubuh Kania sebatas dada.

"Reno, sepatunya belum dilepas." Lucy menunjuk sepatu yang masih dipakai Kania.

"Ya lo lepasin dong, bego. Ngapain cuma diliatin doang."

Sambil mendumal, tangan Lucy bergerak melepas sepatu dan kaus kaki yang dipakai Kania. Kemudian ia menutup kembali telapak kaki Kania dengan selimut.

Reno mengelus kepala Kania dengan lembut. "Kita bawa ke rumah sakit aja kali, Cy?" tanya Reno tanpa melihat Lucy.

Lucy berpikir sejenak sambil menatap wajah pucat Kania. "Iya, bawa aja. Nanti makin parah," jawabnya khawatir.

Kania yang mendengar itu segera menggeleng lemas. "Nggak usah," ucap Kania pelan, nyaris seperti bisikan. Ia tidak ingin pergi ke rumah sakit. Saat ini istirahat adalah hal yang paling ia butuhkan.

"Kenapa enggak? Lo mau meninggal di sini?" Tentu saja yang bicara adalah Lucy. Rasanya, bocah itu tidak pernah bicara baik-baik pada Kania.

Kania tetap menggeleng.

"Nggak usah keras kepala, deh. Lo pikir sekuat apa tubuh lo? Mau lo sekuat petinju kelas dunia, kalau sakit ya sakit."

Reno menoyor kepala Lucy. "Mending nggak usah ngomong."

"Kalian pergi aja, gue mau tidur." Kania memohon, dia kemudian memejamkan matanya dan mencoba tidur.

Reno dan Lucy akhirnya menyerah. Mereka berdua tidak langsung keluar dari kamar Kania, melainkan duduk di sofa panjang yang ada samping ranjang.

"Mending lo telpon Tante Fara sama Om David. Biar kalau Kania bangun dan badannya masih panas, bisa langsung dibawa ke rumah sakit," pinta Reno. Dia mengambil bantal sofa dan tidur di sana. Kakinya menendang-nendang tubuh Lucy agar cewek itu segera beranjak dari sofa supaya ia bisa meluruskan kakinya.

Lucy mengangguk dan beranjak pergi, namun sebelum itu ia menyempatkan diri untuk memukul keras kaki Reno.

Reno menahan pekikannya, membuat Lucy tertawa puas dan bergumam kata 'mampus'.

***

"Lo sama Kania ada masalah apa?" Rasa kantuk Hana menghilang seketika saat mengingat Kania pergi begitu saja tanpa pamit. Dia ingat betul bahwa sebelum Kania pergi, Kania bicara dengan Bara dengan ekspresi rumit. Dia curiga ada masalah antara Kania dan Bara.

Bara melirik arloji di pergelangan tangannya. Dia bersandar di sandaran sofa. Wajah tampannya terlihat lelah. "Udah malem, pulang sana," usirnya.

"Jawab gue dulu!" sentak Hana.

IDENTITY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang