Ketika seharian menjalani waktu sekolah yang membosankan, mata Kania akhirnya menunjukkan semangatnya ketika suara merdu bel pulang sekolah masuk dengan sopan ke telinganya. Kania membereskan buku-bukunya dan bergegas menghampiri Bara yang sudah menunggunya di depan sekolah sejak sepuluh menit yang lalu.
Karena sekarang ia tidak punya teman, ia berjalan sendirian keluar kelas. Sedari awal tatapan orang-orang tak lepas dari dirinya, namun hal itu tidak membuat Kania terganggu. Ia langsung berlari kecil mendekati mobil Bara yang terparkir tidak jauh dari gerbang sekolah. Kania langsung masuk dan duduk di kursi sebelah pengemudi.
"Hana bentar lagi dateng, dia masih di perpustakaan," ucap Kania sambil mengambil ponselnya dari ransel. Tiba-tiba sesuatu yang dingin menempel di pipinya membuat Kania terperanjat.
"Sisa minuman gue," ucap Bara dengan wajah acuh tak acuh.
Kania menatap cowok itu sebentar sebelum mengambil minuman itu. Tidak seperti apa yang dikatakan Bara, minuman yang diberikan masih utuh, belum dicoblos sedotan. "Makasih," gumam Kania, lalu meminum minumannya dengan santai.
Bara tidak memberi respon, perhatiannya kini sudah teralih ke layar ponsel.
Pintu belakang mobil terbuka, Hana masuk dengan tergesa-gesa. "Maaf telat guys, tadi gue diskusi sama temen kelompok. Udah nunggu lama?" tanya Hana lantas bersandar santai sambil mengatur napasnya.
"Nggak lama, gue juga baru dateng," jawab Kania.
"Gue yang nunggu lama," celetuk Bara.
"Halah! Kalau belum satu jam berarti belum lama, nggak usah lebay lo." Hana nyolot dengan wajah menyebalkan. "Sekarang ke rumah Ratih, kan?"
Kania mengangguk tanpa bicara. Bara segera menghidupkan mesin mobilnya, dan mobil pun melaju dengan kecepatan sedang, menuju rumah Ratih.
***
Kania masuk ke rumah Ratih sendirian, tanpa Bara dan Hana. Di sana ia sudah disambut dengan wajah cerah ayah Ratih. Sejak kedatangannya, ayah Ratih senantiasa menunjukkan sikap ramahnya, bahkan senyuman di wajahnya itu sedetik pun tak pernah memudar, membuat Kania sedikit merinding. Sikap Ayah Ratih benar-benar tak menunjukkan bahwa dia adalah seorang ayah yang baru saja kehilangan putri semata wayangnya.
Kania duduk di ruang tamu yang terlihat berantakan. Bahkan gudang di rumahnya jauh lebih rapi daripada ruang tamu itu. Botol-botol alkohol tergeletak sembarangan di lantai, baju kotor menumpuk di sudut ruangan, benda-benda yang diselimuti debu tebal. Bahkan aroma yang menguar karena joroknya ruang tamu itu hampir menyamai aroma sampah.
Namun Kania sama sekali tidak merasa risih. Kondisi ruang tamu itu terasa familier. Tentu saja, sewaktu tinggal berdua bersama ayah kandungnya, kondisi rumahnya tak jauh beda dengan rumah ini. Bahkan bisa dikatakan lebih buruk.
"Saya nggak nyangka kamu datang ke sini." Ayah Ratih melirik bingkisan yang dibawa Kania, saat itu pula senyumnya semakin melebar. "Sebenarnya nggak perlu repot-repot sampai bawa bingkisan."
Kania ikut melirik bingkisan yang tadi sempat ia beli dalam perjalanan. Ia kembali mengalihkan tatapannya pada Ayah Ratih. Pria itu sudah menerima uang dalam jumlah besar dari orangtuanya, orangtua Selena, orangtua Alci, dan yang lainnya. Tidak heran mengapa pria yang dijuluki pengangguran brengsek yang tidak tahu sopan santun itu bisa bersikap ramah padanya.
"Oh iya, kalau boleh tau kamu anaknya pak siapa, ya?" tanya Ayah Ratih.
Kania tersenyum ramah dan menjawab, "David Yujian."
"Ohh, Pak David. Waduh, saya lupa nyiapin teh. Tunggu sebentar, ya, saya buatin teh dulu."
"Nggak perlu repot-repot Om," tolak Kania halus. "Saya ke sini mau minta maaf...."
"Ah, minta maaf untuk apa? Nggak usah! Nggak masalah! Aduhh, bukan salah kamu, anak itu emang nggak bisa menghargai hidup. Saya udah capek-capek banting tulang ngasih makan dia, tapi dia malah begitu."
Kania tidak bisa menahan kerutan di keningnya. Omong kosong apa yang pria itu bicarakan? Bagaimana bisa dia bicara begitu? Kania jelas tak senang dengan kata-kata pria itu, namun Kania mencoba menahan diri dan tetap tenang. "Perlakuan saya ke Ratih udah keterlaluan. Kesalahan saya emang nggak bisa ditebus cuma dengan kata maaf. Tapi satu-satunya yang bisa saya lakuin adalah minta maaf dengan tulus. Sa—"
"Saya kan sudah bilang, nggak apa-apa. Kamu nggak perlu minta maaf. Kalau dilihat dari kondisi anak itu, emang wajar orang sekitar nggak suka sama dia. Apalagi dia sekolah di sekolah elit, tempatnya anak-anak orang kaya sekolah, dia udah nggak selevel. Saya sudah memperkirakan dia nggak bakal diterima di lingkungan pertemanan di sana."
Kania diam-diam meremas ujung roknya. Kata-kata ayah Ratih berhasil membuat emosinya melonjak. Kania tahu ayah Ratih tidak akan bersikap buruk padanya karena telah menerima uang dari orangtuanya, namun menjelekkan putrinya sendiri seperti ini sangat keterlaluan. "Apa Om nggak sedih karena kehilangan anak satu-satunya?"
Mendengar itu, senyuman di wajah ayah Ratih memudar seketika. Dia menunduk tetapi tidak ada kesedihan di wajahnya. "Saya tau hidup dia menderita, jadi saya berpikir lebih baik dia pergi dari pada menderita terus."
Hah?
Kalau tahu anaknya menderita, kenapa ia tidak berusaha menjadi ayah yang baik? Setidaknya itu bisa mengurangi penderitaan Ratih, bukan? Sungguh, Kania ingin bertanya demikian, namun itu terlalu lancang. Karenanya, ia menahan diri untuk tidak bertanya.
"Saya sudah terlalu hancur sejak istri saya pergi sama selingkuhannya. Wajah anak itu mirip sama ibunya, jadi itu yang buat saya jengkel setiap kali liat dia. Saya bener-bener nggak bisa bersikap lembut ke anak itu."
Jadi dia menyalahkan wajah putrinya yang terlihat mirip dengan istrinya yang selingkuh?
Konyol!
Dari cerita itu, Kania menyadari bahwa dirinya di masa lalu dan Ratih memiliki beberapa kesamaan. Tinggal bersama ayah pemabuk, Ibu mereka pergi bersama selingkuhannya, dan mereka menjadi murid tertindas di sekolah. Yang membedakan mereka hanya keberuntungan dan pilihan yang mereka pilih. Kania memilih bertahan karena menurutnya bukan ia yang harus meninggalkan dunia, tetapi orang yang membuatnya menderita. Dan beruntung ia bertemu dengan pasangan David dan Fara yang kini menjadi orang tua yang sempurna untuknya. Sementara itu, Ratih memilih mengakhiri hidupnya untuk meninggalkan penderitaan. Sampai akhir hidupnya dia tidak pernah bertemu dengan keberuntungan yang bisa membebaskan dirinya dari penderitaan.
Kania tidak bisa berkata-kata sampai akhir. Setelah pembicaraan singkat itu, ia memilih untuk pamit undur diri. Tiba di luar rumah, ekspresinya yang dingin berubah sedih. Menurut Kania ini agak lucu. Penindas seperti dirinya malah mendapat banyak kasih sayang dari orang-orang sekitar, bahkan setelah merenggut satu nyawa, orang-orang itu masih memberinya banyak kasih sayang. Tetapi yang menjadi korban di sini justru berada dalam kondisi yang berbanding terbalik.
Dia menghela napas dan memaksakan seulas senyuman untuk ditunjukkan pada ayah Ratih yang mengantarnya sampai ke depan rumah. Dia menghela napas dan memaksakan seulas senyuman untuk ditunjukkan pada ayah Ratih yang mengantarnya sampai ke depan rumah.
Bara yang menunggunya di samping mobil memperhatikan ekspresi wajah Kania. Begitu pula dengan Hana yang saat ini berdiri di sebelah Bara. Namun mereka tidak mengatakan apa-apa sampai mereka masuk ke dalam mobil.
***
Maaf pake bangetttttt karena baru update. Aku baru buka wattpad setelah beberapa minggu.
Sekali lagi maaf yaa.
Semoga suka sama part ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY (END)
Подростковая литература"Tadi lo bentak dia dan hampir aja main fisik. Dia itu pacar lo, lo nggak boleh bersikap kayak gitu." "Dia nggak terlalu penting. Pacar gue nggak cuma dia." Bara terdiam sebentar lalu menengokkan kepalanya ke samping, menatap cewek disampingnya. "La...