EMPAT PULUH TIGA

31.7K 1.8K 10
                                    

Napas Kania tercekat bersamaan dengan matanya yang terbuka. Kania bisa merasakan buliran bening mengalir dari sudut matanya, jatuh sampai membasahi bantal. Seperkian detik kemudian suara isakan mengudara di seluruh penjuru kamar.

Kania memimpikan semua masa-masa kelam yang dengan susah payah ia lupakan. Mimpi yang membuat luka lama di hatinya kembali terbuka. Rasanya seperti hatinya diremas begitu kuat oleh seseorang sampai hancur.

Suara ketukan pintu tertangkap indera pendengaran Kania, disusul suara Reno yang memanggil namanya. Kania bangun dan beranjak ke pintu kamar yang ia kunci. Ketika pintu terbuka, wajah khawatir Reno terpampang jelas di depannya.

Melihat Kania menangis, tanpa pikir panjang Reno langsung menarik Kania ke dalam pelukannya. Ketika mendengar berita tentang Ratih, Reno langsung buru-buru datang kemari. Dia sudah bisa menebak bahwa Kania sedang tidak baik-baik saja. Jadi kedatangannya ke sini untuk mendengar segala keluh kesah sahabatnya itu.

Diberi tempat yang nyaman untuk menangis, Kania tidak berusaha untuk menahan air matanya. Cewek itu mencurahkan segala emosi yang ia rasakan lewat tangisan. Dan Reno dengan senang hati membiarkan Kania membasahi kausnya dengan air mata.

"Kenapa dia bunuh diri?" lirih Kania disela-sela isakannya.

Reno mengelus punggung Kania, menunggu cewek itu bicara lebih lanjut.

"Gue juga mengalami hal yang mirip, tapi gue nggak pernah berpikir untuk bunuh diri. Kepala gue rasanya mau pecah nyari jawaban dari pertanyaan itu. Tapi sampai sekarang gue nggak tau jawabannya."

Reno mengerti semua yang Kania katakan. Sebelum menjawab, Reno menghela napas panjang. "Mungkin beberapa orang bisa mengalami masalah yang sama, tapi tiap orang punya cara yang berbeda untuk nyelesein masalahnya." Kini Reno mulai mengelus kepala Kania dengan lembut. "Bertahan, menyerah, atau bangkit ... tiap orang selalu punya tiga pilihan itu."

Ah, jadi seperti itu. Kania tidak menyangka jawaban dari pertanyaan sangat sederhana. Kania mengangguk paham dan tangisnya perlahan mereda.

"Lo tau, gue tadi mimpi tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Rasanya nyata banget, seolah gue mengalami kejadian itu untuk kedua kalinya .... Gue takut. Takut banget," ujar Kania.

"Itu cuma mimpi," jawab Reno mencoba menenangkan.

Kania sudah merasa sedikit tenang. Ia memejamkan matanya. "Makasih ... Reno."

***

Kania duduk di sofa yang berseberangan dengan Fara. Kepalanya sedari tadi menunduk dan ia tidak bisa berhenti memainkan kuku-kuku jarinya karena gugup. Di sebelah kanannya ada Reno yang sengaja mengalihkan perhatiannya ke layar ponsel. Dan di sebelah kanan Fara ada Lucy yang juga bersikap pura-pura tidak tertarik dengan obrolan antara Fara dan Kania. Padahal sebenarnya ia menajamkan pendengarannya agar tidak ada satu obrolan pun yang terlewat.

"Untuk beberapa hari kamu libur dulu," tutur Fara membuka obrolan.

Mendengar itu, Kania spontan mengangguk dan berdeham pelan. Ia menekan bibirnya dan berusaha menghentikkan pergerakan jari-jarinya. Namun usahanya untuk terlihat tidak gugup gagal total. Karena tidak berhasil menyembunyikan kegugupan, Kania semakin menunduk untuk mencegah Fara melihat wajahnya. "Maaf."

Mendengar satu kata itu, Fara hanya diam tanpa melontarkan sepatah kata pun.

"Maaf karena aku nyusahin Mama. Aku takut. Aku takut jadi orang yang dikucilkan. Aku selalu berusaha keliatan kuat biar nggak ada yang berani ganggu aku. Tapi sekarang aku ngerti, aku bisa jadi orang yang benar-benar kuat tanpa harus nyakitin siapa pun." Kania membiarkan air matanya meluruh. Untuk kesekian kalinya ia membiarkan dirinya terlihat lemah di hadapan orang lain. Tetapi itu jauh lebih melegakan daripada terus menahan diri agar terlihat kuat. "Aku sadar, apa yang aku lakuin sekarang nggak ada bedanya sama orang-orang yang nyakitin aku di masa lalu," lanjut Kania.

Fara tersenyum lega mendengar apa yang Kania katakan.

"Maaf, aku memang anak adopsi yang nggak tau diri."

Namun, kalimat itu membuat senyum Fara memudar. Dia tidak suka kalau Kania menyebut dirinya anak adopsi. Kata-kata itu membuat Fara diserang dengan fakta bahwa bukan dia yang melahirkan Kania. Meski faktanya demikian, Fara merasa hatinya sangat sakit. Baginya, Kania adalah anak kandungnya. Dia tidak pernah berat sebelah dalam memberikan kasih sayang pada kedua putrinya. Baik Kania maupun Lucy sama-sama putrinya yang berharga.

"Kamu nggak diizinin untuk bilang kalimat itu lagi. Bagi Mama, kamu nggak ada bedanya sama Lucy. Kania Yujian itu anak Mama." Fara menepuk-nepuk dadanya dengan kesedihan yang terdapat pada sorot matanya.

Kania tidak bergeming. Ia tersenyum menyadari betapa beruntungnya ia memiliki keluarga baru yang sangat menyayanginya. Karena keluarga ini kehidupannya selama beberapa tahun ini aman dan nyaman. Dia bisa makan makanan yang enak, bisa perawatan wajah, bisa berbelanja sesuka hati, dll. Dia tidak pernah kekurangan uang dan kasih sayang. Betapa sempurnya kehidupannya yang sekarang, namun bodohnya ia mengotori kehidupannya yang sempurna dengan menjadi penindas kaum lemah dan berujung menyusahkan orang tua angkatnya.

Kania menyesali perbuatannya.

"Mama harap setelah kejadian ini kamu bisa jadi orang yang lebih baik."

Kania mengangguk. Dia juga berharap demikian.

"Oke! Mama harus balik ke kantor. Pulangnya mau Mama beliin pizza?"

"Enggak," jawab Lucy dengan wajah datar. "Nggak ada yang suka pizza, kan?"

Fara terkekeh, namun ia tidak mengatakan apa-apa. Kemudian ia bergegas pergi kembali ke kantor.

Dalam ruangan itu hanya menyisakan tiga orang. Reno menaruh ponselnya di atas meja, hal yang sama juga dilakukan Lucy. Mereka kompak menatap Kania yang kini masih termenung di tempat.

"Berhenti bersikap terlalu defensif. Sekarang sama dulu itu beda. Dulu lo kurus kerempeng kayak lidi, keliatan lemah banget, jadi orang-orang tuh nggak segan gangguin lo. Sekarang udah beda. Lo cantik, punya aura remaja kelas atas, dan lo tau nggak? Banyak yang takut kalau tatapan sama lo. Tatapan lo itu mengintimidasi banget. Gue jamin deh nggak akan ada yang berani gangguin lo. Lo nggak perlu bully orang biar keliatan ganas."

Kania mendongak, menatap Reno yang langsung nyerocos setelah Fara pergi. Namun kata-kata Reno justru menghiburnya dan membuat senyumnya mengembang.

"Tobat ya, Olivia cantik. Minta maaf sama orang-orang yang pernah lo bully. Gue ngajarin lo bela diri bukan untuk nyakitin orang lemah yang nggak pernah gangguin lo."

"Nama gue Kania." Kania mengoreksi.

"Iya-iya, Ka-ni-a!

Lucy diam-diam tersenyum melihat interaksi antara Reno dan Kania. Dia berdeham pelan untuk menarik perhatian dua orang itu. "Gue lebih suka Olivia versi kuat daripada Kania Yujian si penindas," cetus Lucy, lalu berpura-pura memainkan ponselnya.

Mendengar ucapan tiba-tiba itu, Kania tersenyum lebar. "Apa?" godanya.

"Gue yakin lo ngerti," balas Lucy.

Reno terkekeh melihat dua bersaudara itu. Kemudian ia fokus menatap Kania. "Gue harap lo jadi diri sendiri mulai sekarang. Nggak usah takut sama temen-temen lo yang otaknya rusak semua itu. Masih banyak manusia baik-baik di bumi yang bisa diajak berteman."

"Tapi ada sedikit manusia yang mau bertemen sama gue."

"Yaudah temenan sama hewan aja bisa, kok."

"Lo aja!"

Kania memikirkan kembali apa yang sebenarnya ia inginkan.

Ia ingin hidup dengan tenang bersama orang-orang yang menyayanginya. Ia akan berusaha melawan ketakutan terhadap masa lalunya yang bisa saja membuat kacau dirinya yang sekarang.

****

Semoga suka!

IDENTITY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang