Ketika Bara melihat kondisi Kania di depan kantor polisi, bukannya prihatin dengan wajah Kania yang terluka, ia malah melempar tatapan mengejek. Tetapi tidak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Karena kondisi Kania yang cukup memprihatinkan itu, Bara tidak langsung mengantar cewek itu pulang, melainkan pergi ke markas pentolan SMA Dirpan untuk mengobati luka Kania terlebih dahulu.
Mereka berada di salah satu ruangan diujung gedung. Ruangan itu adalah tempat di mana Kania berganti pakaian beberapa hari yang lalu. Sama sekali tidak ada perubahan dalam ruangan itu. Semua barang masih tertata seperti terakhir kali Kania masuk ke ruangan tersebut.
Kania duduk di atas meja sementara Bara berdiri di depanya dengan kepala menunduk. Cowok itu sedang membersihkan luka di kakinya dengan hansaplast spray antiseptik. Ia sama sekali tidak meminta Bara untuk mengobati lukanya, Bara sendirilah yang berinisiatif untuk melakukan hal tersebut.
Sikap Bara ini terbilang cukup manis. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak cewek nyaman jika bersamanya. Sangat disayangkan sikap manis itu hanya ditunjukkan diawal-awal hubungan, setelahnya hanya ada sikap brengsek cowok itu.
Kania memperhatikan Bara diam-diam. Baru beberapa detik ia menilik cowok itu, Kania dibuat tersentak karena Bara malah mendongakkan kepalanya secara tiba-tiba sehingga membuat tatapan mereka bertemu. Aksi saling tatap itu berlangsung singkat sebab Kania langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Kania memasang raut datar untuk menutupi rasa malunya. Dalam hati ia tidak berhenti merutuk diri sendiri karena telah melakukan tindakan bodoh.
Bara hanya tersenyum menanggapi itu. "Mana lagi yang luka?" Suara beratnya memasuki indera pendengaran Kania. Oke, Kania sedikit menyukai suaranya.
Hasil dari dua bogeman yang dilayangkan Rion di wajah Kania tidak terlalu fatal. Terdapat luka kecil dan sedikit lebam di sudut bibirnya. Di ujung mata kanan dan di bagian rahang kanannya hanya terdapat luka kecil yang mungkin akan mengering dengan cepat. Kania juga mendapat lebam yang cukup parah di lengan kirinya akibat menghantam dinding gang. Selain itu, ia juga mendapat luka di pergelangan kaki kirinya karena setelah Kania menghantam dinding gang, ia langsung terjatuh dengan kaki kirinya yang mendarat lebih dulu.
"Itu aja," jawab Kania, sedikit salah tingkah.
Bara menegakkan kembali tubuhnya lantas menaruh botol hansaplast spray antiseptik dan mengambil plaster luka. Ia memiringkan kepalanya ke kanan, melihat luka yang ada di rahang kanan Kania. Setelahnya, ia segera menempelkan plaster luka tersebut.
Wajah serius Bara dapat dilihat Kania dengan jelas. Cowok itu masih mengenakan seragam basketnya, membuat kadar ketampanannya meningkat. Kania cukup mengakui fakta itu, namun ia bukan tipe cewek yang peduli dengan ketampan laki-laki. Jadi, itu bukan sesuatu yang bisa Kania anggap luar biasa.
"Cuma gue pakein di luka rahang. Nggak lucu kalau ada tiga plaster luka di wajah lo," ucap Bara kemudian menempelkan satu plaster luka lagi untuk luka kecil di pergelangan kaki kiri Kania.
Bara menyentuh luka lebam di sudut bibir Kania. "Selain di wajah, lengan kiri lo juga lebam, kan? Di sini nggak ada es. Lo kompres pakai es di rumah aja."
Kania tidak memberikan responnya karena sibuk mengingat kejadian beberapa jam lalu. Ini sudah jelas adalah ulah Adeline.
"Karena mantan lo gue sampai kayak gini," celetuk Kania.
Bara menaikan satu alisnya. "Adeline?"
"Siapa lagi? Kalau bukan karena lo, gue nggak akan punya masalah sama Adeline."
Bara tidak mengatakan apa pun. Raut wajahnya juga tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Dia menaruh kembali kotak P3K di tempat ia mengambilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY (END)
Teen Fiction"Tadi lo bentak dia dan hampir aja main fisik. Dia itu pacar lo, lo nggak boleh bersikap kayak gitu." "Dia nggak terlalu penting. Pacar gue nggak cuma dia." Bara terdiam sebentar lalu menengokkan kepalanya ke samping, menatap cewek disampingnya. "La...