Tepat ketika langit sudah gelap, hujan kian mereda. Angin berhembus dengan dinginnya, seakan menusuk sampai ke tulang-tulang. Angin malam membuat tubuh yang tenggelam dalam hoodie berwarna navy itu sedikit gemetar. Bulu-bulu halus di tangan dan di kakinya berdiri ketika lagi-lagi angin berhembus menerpanya.
"Bego, udah tau dingin, malah duduk di sana."
Untuk yang sekian kalinya, Kania mendengus mendengar ucapan Bara yang terus diulang beberapa kali dalam beberapa jam ini. Kania duduk diambang jendela tanpa daun jendela, matanya sedari tadi sibuk melihat tetes demi tetes air yang mulai mereda hingga akhirnya hilang, menyisakan jalanan yang berair dan tanah yang becek.
Kania memilih duduk terpisah dengan Bara dan anak buahnya. Ia tidak suka membicarakan permusuhan antar sekolah dan sekarang segerombol cowok itu sedang membicarakan topik tersebut. Dan sekarang ia hampir mati bosan di sini, namun Bara melarangnya pulang. Katanya, masih terlalu sore untuk pulang. Tapi ini sudah malam!
Kania menoleh ke arah para pentolan SMA Dirpan. Segerombol cowok itu sebagian besar berwajah sangar dan memiliki tubuh kekar. Selama beberapa generasi, pentolan SMA Dirpan selalu menjadi yang terkuat dan bengis. Mereka sering kali ditakuti oleh pentolan sekolah lain. Bara, yang dianggap sebagai yang terkuat, diakui sebagai ketua, sementara yang lainnya menjadi anak buah. Hanya dua orang yang benar-benar dekat dengan Bara: Yuda dan Aldi.
"Kania!"
Kania tersadar dari lamunannya dan mengalihkan perhatiannya pada cowok yang kemarin berhasil mengalahkannya. "Hah?" Kania belum konek dan hanya diam memandang Aldi.
Aldi menaikan alisnya lantas menunjuk ponsel yang ada digenggaman tangan Kania yang berdering sejak tadi. Kania reflek melihat ke arah ponselnya. Barulah ia sadar benda pipih itu berdering. Nama Reno tertera pada layar. Ia memilih icon hijau, lantas segera menempelkan ponsel itu ke daun telinga kirinya.
"Dimana? Lo nggak ada bilang apa-apa ke gue kalau lo punya kegiatan pulang sekolah," cerocos Reno dari seberang sana.
"Mendadak ada urusan, nggak sempet bilang ke lo."
"Ngapain? Minum-minum lagi sama temen-temen lo yang otaknya rusak semua itu?"
Kania mendengus pelan. Begitulah hubungannya dengan Reno. Saking dekatnya, mereka malah terlihat seperti sepasang kekasih. Kania wajib melapor kegiatannya hari ini, besok, dan seterusnya. Itu perintah dari Reno, dan Kania tidak keberatan melakukannya.
"Nggak. Gue ada di markas pentolan SMA Dirpan."
Mendengar mereka disebut-sebut, kontan segerombol cowok itu menoleh ke arah Kania.
"Ngapain lo di sana?"
Kania terdiam sesaat. "Ada urusan."
"Ya urusannya apa? Selama ini lo nggak pernah, tuh, terlibat masalah apa pun sama anak SMA Dirpan."
"Nggak perlu tau."
Dari sini, Kania bisa mendengar suara mesin motor dari seberang telpon. "Lo ngapain? Gue denger suara motor."
"Tunggu di sana, gue jemput."
Sudut bibir Kania tertarik secara spontan, menghasilkan seulas senyum yang manis. Jika dibandingkan dengan gula, senyum Kania jauh lebih manis.
Kania mengangguk dan berkata, "Oke."
"Telponan sama siapa?" tanya Bara ketika sambungan telpon itu terputus.
Ribuan duri seakan melukai ego Bara ketika dalam waktu kurang dari sedetik, wajah Kania berubah datar kala dia menengok. Tindakan kecil ini sudah cukup membuat Bara mematung di tempat. Perbedaan perlakuan ini terlihat sangat jelas, bukan? Ego Bara yang setinggi langit tentu tidak akan menerima perlakuan yang begitu kontras ini dengan mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY (END)
Teen Fiction"Tadi lo bentak dia dan hampir aja main fisik. Dia itu pacar lo, lo nggak boleh bersikap kayak gitu." "Dia nggak terlalu penting. Pacar gue nggak cuma dia." Bara terdiam sebentar lalu menengokkan kepalanya ke samping, menatap cewek disampingnya. "La...