11

13.7K 1.2K 40
                                    

.

.

.

"Hiks... hiks..." Berulang kali, Ellen mengusap air matanya dengan tisu, bahkan tisu itu kini tak berbentuk lagi. Wanita itu sangat terharu mendengar suara-suara merdu anak istimewa yang bernyanyi hari ini, Ellen pun semakin mengerti, jika tiap anak pasti memiliki satu kelebihan dalam seribu kekurangan.

"Hiks..." Lagi-lagi Ellen menangis, membuat Cashiel tidak tega melihatnya.

"Mom, sepertinya El sudah selesai. Ayo kita lihat." Cashiel melirik jam tangannya sekilas, tak terasa sudah hampir satu jam waktu berlalu.

"Ya ampun, Mommy keasikan melihat penampilan mereka. Ayo..." Ellen merapikan penampilannya lalu menggandeng putranya itu.

"Maskara Mommy luntur karena banyak menangis," ujar Cashiel menggoda ibunya. Ellen merengut, mengambil cermin dari tas dan memperhatikan riasan di wajah cantiknya.

"Mana yang luntur, Iel ? Maskara Mommy ini tahan air, maskara mahal ini." Ellen menyimpan kembali cerminnya, dia dulunya seorang model dan tentu paham dengan hal yang berbau kecantikan. Cashiel yang memang tak banyak bicara hanya tersenyum simpul, dia hanya berusaha mengalihkan perhatian Ellen supaya tidak menangis lagi. Sekilas mereka terlihat seperti orang pacaran, karena Ellen terlihat awet muda dibandingkan umurnya yang sudah kepala empat.

Mereka tiba di ruangan B bertepatan dengan para peserta yang keluar. Mereka langsung dituntun oleh keluarga masing-masing. Ellen memberikan jalan untuk peserta yang memakai kursi roda sembari menunggu putranya. Di tangannya terdapat botol minum berisi teh hangat untuk El, bungsunya itu pasti sudah kehausan.

"Loh... El di mana?" ruangan tak ada lagi peserta. Hanya menyisakan tiga orang juri yang sedang menilai karya lukis itu.

"Adikmu di mana Iel?" tanya sang ibu yang mulai cemas. Ellen mengedarkan pandangannya ke sekeliling, siapatahu El sudah keluar tapi tidak dia lihat.

"Coba kita tanya mereka."

"Permisi..." Cashiel menginterupsi para juri itu.

"Ada yang bisa kami bantu tuan?" tanya wanita teman Luwis tadi.

"Adik saya tadi lomba di sini, peserta nomor sepuluh, memakai jaket denim, dia tidak terlalu tinggi." Cashiel menjelaskan ciri-ciri adiknya. Tak mungkin El hilang atau tersesat, karena mereka melihat sendiri dia masuk ke ruangan B.

"Oh... tuan Luwis membawanya. Katanya untuk jadwal minum obat."

"Luwis? Minum obat? Kami adalah keluarganya, tidak ada jadwal minum obat sekarang." Cashiel menaikkan intonasi suaranya, bagaimana mungkin mereka percaya dengan ucapan Luwis itu.

"Kenapa kalian langsung percaya begitu saja? Kalau sampai terjadi sesuatu pada adikku, kalian akan menanggung akibatnya." Cashiel tersulut emosi, pikirannya mulai tidak beres.

"Cashiel, bagaimana ini. El di mana? Luwis itu siapa?" tanya sang ibu dengan wajah meringisnya.

"Mommy tenang dulu, aku akan menghubungi Daddy dan minta anak buahnya melakukan pencarian."

Ellen sangat takut, untuk pertama kali dalam hidupnya, El tak dia lihat seperti saat ini. Cashiel membawa ibunya pulang sambil tetap berkomunikasi dengan sang ayah.

...

"Mimmy..." El sudah tertidur di rumah Luwis namun mengigau memanggil sang ibu. Suhu tubuhnya sedikit naik akibat menangis kencang sebelum tidur tadi.

"Baby-ku, baby kesayangan Mama." Launa tak mau menjauh dari El, dia terus mengamati wajah mungil itu dan mengusap tangannya. Dia merindukan putranya.

Lagniappe (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang