.
.
.
Sudah lima hari El dirawat di rumah sakit, kondisinya sudah menuju normal namun belum bisa dikatakan sembuh. Orangtuanya sedang mempersiapkan keberangkatan mereka untuk pulang ke Toronto. Sembari sibuk untuk mencari donor jantung juga.
Ellen dan Max sedang sibuk mengurus administrasi rumah sakit, sementara El dijaga Cashio. Tadi malam Cashio tidak bisa tidur karena adiknya yang merengek terus. Baby El ingin ikut pulang bersama para kerabat yang datang menjenguk dirinya. Namun, tentu tidak mungkin dia pulang begitu saja.
"Catu... dua... iga."
"Catu agi... no... ini ada dua," celoteh si kecil yang terdengar begitu ceria pagi ini. Saat ini dia sedang duduk sambil dipangku Cashio. Cashio bersandar di sofa sambil tidur, sementara El duduk di paha sang kakak dan menghadap pada pemuda tampan itu. Pekerjaan yang sejak tadi dia lakukan adalah menghitung organ tubuh Cashio yang ada di bagian wajah. Mulai dari mata, hidung, bibir, hingga alis tebal yang susah untuk dihitung. El selalu mentok di hitungan sepuluh, lalu ulang lagi dari satu.
"Catu bulat... dua bulat..."
"Kak Io, kakak puna dua bulat kak," bisiknya tepat di telinga Cashio. Maksudnya dua bulat itu adalah dua lubang hidung yang begitu cocok di hidung Cashio. El masih lanjut lagi berhitungnya, Mommy dan Daddy sedang menemui dokter Timo dan mengurus biaya lainnya. Karena, hari ini mereka akan kembali ke Toronto. Max memutuskan untuk mencari donor di kotanya saja, dan tentu Max lebih punya banyak kenalan di sana.
"Kak Io, puna dua mata, dua bulat, dua pingping, dua bibil . Cemua tantik." El bertepuk tangan sendiri setelah senandung ringan yang lucu selesai dia nyanyikan. Setelah lagunya selesai, dengan manja dia pun mencium pipi sang kakak, hingga wajah Cashio terkena liur adiknya itu.
"Pffft... Hahaha " Cashio pun tiba-tiba tertawa keras. Dia gagal menahan tawanya, setelah berjuang sejak tadi untuk tidak tertawa. Io itu pura-pura tidur saat El sibuk menghitung sesuatu dari wajahnya. Setelah mendengar lagu dua bulat ciptaan sang adik, dia pun akhirnya tertawa.
"Kak Io..." ujar si baby kaget. Dia langsung menjauhkan tangannya dari hidung sang kakak.
"Lucu sekali sih. Adikku lucu sekali, apa tadi maksudnya dua bulat itu?" Cashio mengacak rambut si adik, lalu mencuri satu ciuman di pipinya.
"Ini kak, dua bulat," El dengan santainya memasukkan jari telunjuknya ke lubang hidung Cashio.
"Eh... jorok, sayang." Cashio buru-buru mengambil tisu basah dan membersihkan tangan adiknya. Hidungnya memang bersih, tapi akan terlihat jorok saat orang menyentuh hidung.
"Uh... mau centuh bulat-bulat ini." El merengek dan kembali memasukkan jarinya.
"Jorok, sayang. Jorok banyak kuman." Cashio kembali menjauhkan tangan itu. Apa pula hoby El ini, menyentuh lubang hidung. Apa tak takut dapat upil???
"Huaaa... mau bulat. Hiks... bulat." El jadi menangis karena tak diperbolehkan menyentuh hidung sang kakak.
"Baby, jangan nangis sayang. Sentuh pingping saja kalo begitu, jangan yang itu, baby." Cashio tentu panik, menenangkan El yang menangis tentu bukan perkara mudah.
"Dak mau, hiks..." Sifat El yang sedikit keras kepala seperti Max, membuat dia tidak mudah untuk dilarang. Kembali dia masukkan telunjuknya ke lubang hidung Cashio. Kini hidung Cashio terasa sakit, hingga dia meneteskan air mata. Namun tetap mencoba untuk sabar.
"Lepas ya, sayang," bujuk Cashio lagi.
"No..."
"Mau kakak marah lalu memanggil banyak nisnis ke sini? Hidung itu jorok, tangan El bisa jorok," jelas Cashio dengan nada menakut-nakuti. El pun jadi takut lalu menjauhkan jarinya dari hidung Cashio yang sudah memerah. Dia tatap sang kakak dengan tatapan teduh nan sayu miliknya, mungkin mulai merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lagniappe (END)
Teen FictionKetika anak yang ditunggu bertahun-bertahun ternyata mengidap keterbelakangan mental, bagaimana perasaan keluarganya? Bungsu kesayangan keluarga itu mengidap keterbelakangan mental. Tapi, cinta dan kasih sayang keluarganya tidak berkurang sedikitpu...