22

8.9K 880 23
                                    

.

.

.

Dengan rasa kecewa yang memuncak, Ellen menangis meninggalkan suaminya dan Launa. Max bertemu dengan wanita yang pernah jadi masa lalunya, di saat anak bungsunya tengah sekarat di ICCU yang dingin itu.

"Ellen, dengarkan aku dulu..." Max mengejarnya, namun Ellen berlari semampunya. Launa mengikuti Max dari belakang, ini adalah sebuah kesalahpahaman. Launa tidak bermaksud menggoda Max, dia hanya ingin berbicara tentang Luwis pada pria itu.

"Hiks...tak ada seorang pun yang benar-benar mencintaiku," ujar Ellen. Wanita itu menangis, seraya berlari menjauhi rumah sakit.

"Ellen..." ujar Max dan Launa.

Ellen berlari menuju jalan yang padat lalulintas, rumah sakit ini berada di pusat kota dan sudah pasti betapa padat aktivitas di sana.

"Hiks..." Kendaraan pun berlalu lalang, tidak ada lampu merah dan garis penyebrangan, Ellen menyebrang begitu saja. Ellen tidak memperhatikan kiri dan kanan, hingga dia tidak tahu jika dari arah kanannya sebuah mobil melaju kencang.

"Ellen..." Teriak Max memperingatkan.

"Ellen, AWAS!!!" Launa berlari kencang dan langsung mendorong tubuh Ellen ke bahu jalan.

Brakk...

Kecelakaan pun terjadi, Launa terpental beberapa meter sementara Ellen mengalami shock  akibat didorong begitu saja. Lalulintas berhenti sementara, Max mengejar istrinya.

"Kau tidak papa, sayang?" Ujar Max lalu membawa Ellen ke pelukannya. Kerumunan pun terjadi, Launa menderuh kesakitan seperti meminta pertolongan.

"Launa..." Ellen baru sadar jika yang ditabrak itu adalah Launa. Dia pun langsung berlari dan menerobos masuk ke dalam kerumunan itu.

"Launa, hiks..." Kepala wanita itu penuh darah, Ellen mendekatinya lalu mengangkat kepala wanita itu ke pahanya. Yang lain sibuk menelpon ambulan, tak ada lagi yang berani menyentuh Launa kecuali Ellen. Luka wanita itu begitu mengerikan.

"Ma-af..." ujar Launa dengan suara yang tersendat, dengan lemah dia menggenggam tangan Ellen.

"Ini bukan salahmu, hiks...Aku mohon bertahanlah..." ujar Ellen.

"Aku min-ta ma-af," ujar Launa seperti orang yang berbisik. Ellen menangis sejadi-jadinya, tangannya seperti menampung darah dari kepala Launa.

"Ini untuk El." Launa membawa tangan Ellen ke dadanya, Ellen bergetar hebat ini sangat menyakiti hatinya. Orang lain yang melihat itu tidak lagi mengerti sedang apa mereka berdua, bagi mereka Launa sudah tinggal nama.

"Kau tidak perlu minta maaf, kau tak perlu berkorban seperti ini, hiks...hiks..." Ellen menggelengkan kepalanya, mereka ada di kerumuman tapi bagi Ellen mereka ada di tempat yang gelap tanpa ada pencahayaan.

"Aku ti-tip...Luwis ya..." ujar Launa lalu tersenyum.

"Tidak, kau harus bertahan..." ujar Ellen. Launa tersenyum dan matanya pun tertutup, ambulan pun datang lalu wanita itu pun segera digotong. Ellen menangis di pelukan Max, sesakit inikah hidupnya.

...

Launa meninggal di pukul 17.00 dan di pukul 20.00 nanti akan dilakukan operasi transplantasi jantung pada Abigael, dan yang mendonorkan jantungnya adalah Launa. Yaitu wanita yang pernah menjadi masa lalu untuk hidup ayahnya. Karma ternyata sekejam ini.

Luwis pun mengizinkan untuk memberi jantung ibunya pada El, dia tahu jika ini adalah keinginan ibunya. Keinginan untuk menjadi orang yang berguna sebelum ajal menjeputnya. Launa ingin menebus kesalahannya pada anak istimewanya yang tak pernah dia anggap dulu, hingga dia berkorban pada anak istimewa yang lain. Launa sudah menyelamatkan dua orang dalam sehari, menyelamatkan Ellen dari kecelakaan dan mendonorkan jantungnya untuk El yang tengah sekarat itu.

Akhirnya setelah menunggu cukup lama, El pun mendapatkan donor. Buah dari kesabaran adalah kebahagiaan, yang kadang menyakitkan untuk orang lain.

"Berdoalah supaya operasinya berjalan lancar," ujar Frans sebelum El dibawa menuju ruang operasi.

...

Pemakaman Launa dilakukan esok harinya setelah jantungnya berhasil dipindahkan pada El. Ellen dan Max bertanggung jawab atas semua biaya, dan mereka juga menghadiri acara pemakaman. Sementara El dipantau oleh Cashiel di rumah sakit sana. Mereka hanya perlu menunggu El untuk sadar, karena operasinya berjalan dengan lancar.

Para pelayat sudah berpulangan, Luwis masih setia untuk mengusap nisan ibunya. Sementara Max dan Ellen berdiri sedikit jauh dari Luwis. Luwis tidak menangis sejak semalam, namun tatapannya kosong, dia seperti seonggok daging yang tak bernyawa. Ellen memberi gestur pada Max untuk menghampiri anaknya. Max awalnya menolak untuk itu, tapi Ellen tetap memaksanya. Bagaimanapun juga, Luwis adalah anak kandungnya.

Max mendekati Luwis, lalu menepuk bahu pemuda itu. Luwis hanya diam tanpa ekspresi sembari mengelus lagi nisan ibunya, sementara itu berjarak dua nisan dari makam Launa, terdapat makam adiknya yang meninggal dua tahun yang lalu. Saat Miquel meninggal dia masih ditemani oleh dua orang yaitu Launa dan ayah tirinya. Saat ini ibunya pun ikut pergi, dan dia tidak ditemani oleh siapapun.

"Jika ada kata yang lebih dari 'maaf' maka aku akan mengatakannya." Max berujar lalu duduk di samping pemuda itu, dia rangkul bahu tegap anaknya. Luwis merasa hangat, rangkulan ini berbeda dari rangkulan siapapun yang pernah merangkulnya.

"Untuk apa anda tetap di sini? Bukankah jantung Mama sudah saya berikan, hanya itukan yang and inginkan," ujar Luwis dengan ketus.

"Aku di sini untuk menemanimu, untuk mengatakan kalau kau tidak sendiri."

"Saya memang sudah sendiri saat ini, sebatang kara, anda tak perlu menghibur saya..." Luwis menjauhkan tangan Max dari bahunya, namun Max menahannya.

"Jangan sentuh saya," ujar Luwis. Namun, Max langsung memeluknya. Memeluk pemuda itu cukup erat, Luwis tidak membalas pelukan ini tapi tangisnya mulai turun. Sejak semalam dia tak menangis, namun kini sesak di hatinya tak tertahan lagi.

"Kau masih punya Ayah, aku Ayahmu," bisik Max. Luwis semakin menangis mendengarnya, hanya kalimat yang dia tunggu selama ini. Dan akhirnya dia dengar di saat ibunya sudah meninggalkan dia. Ellen membuang wajahnya, merasa terharu dan sakit juga.

"Kau ayahku?" Ujar Luwis.

"Aku ayahmu, kau anakku, dan El adikmu," ujar Max. Dia tatap mata anak itu, mata yang sama seperti miliknya. Hidung yang sama seperti milik El, runcing dan indah.

"Kau tidak sendiri, masih ada aku. Masih ada aku, El, dan Mommy..."

"Hiks..." Luwis menumpahkan tangisnya, lalu membalas pelukan ayah kandungnya. Dia memang tak sendiri, dan tak akan pernah sendiri.

Orang baik tak pernah sendiri, mereka akan selalu memiliki teman. Bahkan cobaan lebih senang berteman dengannya.

Next...

Wah...ga kerasa udah part 22 aja ya.
Aku ucapkan terimakasih untuk yang tetap setia membaca ini. Aku sebenarnya selalu ingin fast update , tapi aku selalu takut kalo ga nge-feel, gitu loh... Akhirnya udah ada di draft, terpaksa hapus lagi, karang ulang lagi.

Jangan bosan ya teman, dukung aku untuk menyelesaikan cerita ini. Ini cerita pertamaku yang terinspirasi dari kisah nyata. Dan dengan berat hati, sosok yang kujadikan inspirasi menulis cerita ini sudah tiada di bulan Februari lalu.

Lagniappe (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang