20

11.4K 993 76
                                    

.

.

.

Launa yang kemarin sempat kritis akibat melukai dirinya sendiri, kini sudah mulai membaik. Luwis pun dengan setia menemani dirinya. Luwis tidak ingin kecolongan lagi, dia akan merawat ibunya dengan baik mulai saat ini.

"Aku sudah menemukan psikiater terbaik di Toronto, saat kondisi Mama membaik, Mama bisa menemui dia."

"Luwis, Mama ini tidak gila. Mama tidak butuh psikiater yang kau maksud itu," ujar Launa. Saat dirinya sedang merasa tenang, Launa tak lebih seperti wanita pada umumnya. Berbicara lembut, bersikap sopan, dan penyayang juga.

"Mama memang tidak gila, tapi Mama bisa konsultasi dengan dia. Mama bisa menceritakan apa yang menjadi beban Mama. Supaya Mama merasa lega dan tidak stres," ujar Luwis. Launa mengangguk paham, seraya tersenyum kecil pada anaknya.

"Maafkan Mama yang sering membuatmu panik, Mama juga tidak ingin seperti ini terus. Mulai sekarang, Mama akan sering konsultasi. Mama harus berubah..." Launa berjanji pada dirinya agar tidak membuat ulah lagi. Dia tidak ingin Luwis tertekan, karena saat ini Luwis hanya memiliki dirinya.

"Kemarin aku bertemu dengan Cashiel," ujar Luwis.

"Cashiel itu siapa?"

"Dia kakak sulung Abigael, saudara kembar Cashio. Dia mengatakan kalau El ternyata mengidap sakit jantung yang sudah parah. Mereka sedang mencari pendonor."

"Ya Tuhan..." Launa menutup mulutnya tak percaya, anak manis yang mirip putranya yang telah tiada, ternyata sedang sakit parah.

"Apa sekarang donornya sudah ada?" Tanya Launa lagi. Dia merasa sedih, tidak ada rasa benci pada keluarga Max. Bencinya hanya pada Max.

"Aku tidak tahu, Ma. Ah... sudahlah. Itu urusan keluarga mereka bukan? Max pasti bisa mendapatkannya dengan mudah, uang bisa membeli segalanya." Raut wajah Luwis berubah, rasa benci tercetak jelas di wajahnya. Wajah yang ternyata begitu mirip dengan Max dan El.

"Sayang, jangan berucap demikian. Bagaimanapun juga, Max adalah ayah kan-" Launa tak bisa melanjutkan ucapannya, karena Luwis langsung menutup telinganya dengan telapak tangan.

"Stop... Aku tidak ingin mendengar hal itu lagi, Ma."

...

Mimmy dan Diddy akan menghadiri sebuah acara hari ini, sementara si kembar sibuk dengan kuliah mereka. Jadi, El pun dijaga oleh pengasuhnya, seorang pelayan kepercayaan Ellen tentunya. El saat ini tengah bersantai sambil menonoton televisi, semangkuk sereal dengan susu ikut menemani, sementara itu sang pengasuh duduk di sampingnya dengan wajah yang sulit diartikan. Belle nama pengasuh si baby itu.

"Tuan, Bibi perutnya sakit sekali sayang, Bibi ke kamar mandi sebentar ya," ujar Belle. Sejak tadi perutnya sedikit mulas, cuman dia tahan karena El tidak mau ditinggal. Belle dan El sangat dekat, Belle sudah seperti kakak perempuan untuk El.

"No... Bibi dak boleh pelgi, El dak ada teman," balas si kecil lalu menyendok lagi sereal itu ke mulutnya. Meja tempat dia makan sebenarnya sudah Kotor akibat sereal yang bertumpuhan, demikian juga dengan mulut dan bajunya. Namun, Belle tidak marah dengan sabar akan dia bersihkan bekas itu.

"Sebentar saja, sayang. Perut Bibi sakit sekali, aduh sakitnya." Belle menderu- deru membuat El menatapnya heran, dia jadi kasihan dan merasa bersalah.

"Bibi...Bibi cakit?" Tanya si bungsu itu.

"Iya, tuan. Bibi ke kamar mandi sebentar ya." Tanpa menunggu persetujuan dari El, Belle pun langsung pergi dari ruang santai itu. El pun menatap si bibi hingga punggungnya tak terlihat lagi, kemudian dia pun menyendok kembali serealnya.

Lagniappe (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang