19

9.7K 1K 102
                                    

Sebelum lanjut baca, aku mau bilang dan mengingatkan kembali kalau ini hanya cerita karangan saja.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia medis dalam cerita ini, tidak semuanya benar. Beberapa memang aku cari dari internet dan sisanya hanya bumbu imajinasi milikku. Jadi, andai ada di antara pembaca sekalian yang lebih tahu tentang hal ini, aku mohon dimaklumi ya kalau gak masuk akal gitu. 😊

Makasih banyak untuk yang membaca sampai bab ini 💚💚💚

.

.

.

Cup...

Lagi, Max mencium layar ponselnya yang menampilkan foto El yang sedang dipangku Ellen. Dua orang kesayangan dalam hidupnya itu, sebentar lagi mungkin akan dia tinggalkan selamanya. Max tidak sanggup lagi melihat putra bungsunya, putra kesayangannya, anak kandungnya menderita. Sejak lahir, El tidak pernah merasakan kebebasan yang berarti dalam hidupnya. El tidak seperti anak seusianya, El tumbuh dalam larangan dan kekangan.

El kecil yang sering sakit-sakitan, El yang selalu membuat keluarganya khawatir, dan El yang selalu berusaha membuat orangtuanya bangga dengan  hal kecil yang mampu dia lakukan. Oleh karena itu, Max ingin memberi sebuah kesempatan untuk El. Memberi  kesempatan hidup yang lebih baik dengan mendonorkan jantungnya sendiri.

"Diddy harap El akan sehat sampai selamanya. Temani Mimmy sampai hari tua, Diddy sangat menyayangi kalian." Max mengusap kembali foto tersebut yang terkena lelehan air matanya. Max menyeka air matanya, menyimpan ponselnya ke dalam saku, lalu turun dari mobil mewahnya.

Tanpa ragu, Max melangkah masuk menuju bangunan yang kini berada di depannya. Yayasan ini biasanya digunakan orang untuk mendaftarkan kerabat mereka yang baru saja meninggal, dan ingin organnya didonorkan.

Max akhirnya bertemu dengan pemilik yayasan itu, seorang pria paruh baya dan merupakan pensiunan seorang dokter.

"Mohon maaf, tuan Max. Kami belum mendapatkan pendonor untuk putra anda, kami akan beritahu pada Frans jika sudah ada," ujar pemilik yayasan. Dirinya terkejut dengan kehadiran Max, dia pikir kedatangan Max untuk menanyakan donor untuk El.

"Bukan, aku datang bukan untuk itu," ujar Max.

"Lalu apa yang bisa kami bantu, tuan?" Pemilik yayasan menatap Max tanpa rasa curiga.

"Aku yang akan mendonorkan jantungku untuk anakku sendiri."

"Apa...?" Pria tua itu pun lantas terkejut. Max adalah orang pertama yang pernah dia temui bersikap demikian. Banyak orang yang datang mendonorkan organ milik keluarga mereka yang sudah meninggal, itu saja kadang mereka sedih. Lalu bagaimana pula dengan Max, seorang pria yang sehat ingin mendonorkan jantungnya sendiri.

"Tidak mungkin, tuan. Pendonor itu hanya dari orang yang sudah meninggal."

"Apa yang tidak mungkin? Semua mungkin dilakukan. Anakku semakin parah saja, kekayaan yang kami miliki ternyata tidak menjamin dia memperolah organ dengan mudah. Jadi, ini adalah jalan terakhirku." Tanpa sadar Max meninggikan suaranya, namun air matanya tak bisa dia bendung. Di depannya terlukis wajah kesakitan El, tangan yang memakai infus, selang oksigen, Ellen yang histeris, semua bayang keburukan itu terpampang jelas.

"Tuan Max, tolong berpikir dengan jernih. Bagaimana perasaan keluarga anda mengetahui hal ini? Jika mereka tahu, apa mereka tega?" Pemilik yayasan donor organ itu, mencoba memberi masukan. Ikut sedih juga melihat sosok ayah yang sedang hancur di depannya.

"Kalian bisa membuat surat, jika aku meninggal karena kecelakaan. Aku sangat mencintai anak dan istriku. Aku ingin mereka bahagia."

"Tuan Max..."

Lagniappe (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang