9. Kencan

453 51 11
                                    


"Jalan?" Trisha hampir tak percaya pada pendengaranya barusan.

"Tapi kalau kamu nggak ada waktu nggak apa-apa, Tris."

"Ada, kok ada!"

"Jadi, kamu bisa?"

Trisha hanya mengangguk, berusaha keras agar tidak melompat girang.

"Jam berapa?"

Ervan berpikir sebentar. "Jam sepuluh?"

"Boleh," sahutnya semangat.

"Besok aku jemput?"

"Oke."

"Baiklah, besok kalau aku sudah sampai aku telepon."

"Sampai ketemu besok. Aku masuk, ya." Trisha melambaikan tangan, pamit undur diri dari hadapan Ervan.

Ervan masih menatapnya sampai hilang dari balik pintu gerbang yang menjulang. Sepertinya besok akan jadi hari yang indah. Motor retronya sudah menyala, dengan sedikit menarik gas, Ervan sudah meninggalkan kediaman Trisha.

"Baru pulang, Tris?"

"Mama? Papa? Kenapa kalian belum tidur?"

"Kami menunggumu, Nak," sahut Admaja lembut.

"Aku tadi sudah bilang ke Mama, 'kan kalau aku bakal pulang agak malam."

"Supir sudah datang dari tadi, lalu siapa yang mengantarkanmu pulang barusan?" Claudya bertanya dengan nada tenang, meski Trisha tahu ia sedang diinterogasi.

"Barusan teman."

"Teman kuliah?"

"Bukan."

"Terus?"

"Ya, temen, Ma. Temenku bukan hanya dari lingkungan kampus."

"Kalian ada hubungan spesial?" Masih pertanyaan dari Claudya.

Trisha menggeleng pelan.

"Ya sudah, lain kali jangan pulang malam-malam, Tris. Papa dan Mama khawatir." Admaja menengahi.

"Baik, Pa."

"Sudah makan?"

"Sudah."

"Ya sudah, istirahatlah, Sayang."

Trisha mengangguk. Mendekat ke arah Admaja dan Claudya untuk mendaratkan kecupan di pipi kedua orang tuanya secara bergantian.

"Selamat malam, Pa ... Ma ...." Trisha berlalu.

"Sepertinya putri kita sudah semakin dewasa. Trisha seperti bunga yang sedang mekar-mekarnya. Mengundang perhatian kumbang-kumbang untuk mendekat. Jangan terlalu memberi kebebasan. Mama khawatir, Pa."

"Jangan juga mengekang, Ma."

"Ya, aku tahu. Anak sekarang mana bisa dikekang." Claudya meloloskan napas panjang. Ia kemudian hening sejenak, matanya berkaca-kaca mengingat seseorang.

"Apa kabar Tristan?" Suaranya bergetar menyebut nama itu.

Admaja menoleh, kemudian mendapati istrinya mulai terisak. Admaja meraih tangan Claudya untuk ia genggam. Air mata seorang Ibu menderas menahan kerinduan.

Sementara di sisi lain, Trisha menjatuhkan tubuhnya di atas ranjangnya yang nyaman. Meski sudah tidak bersama Ervan, tetapi aroma pria itu masih menempel di bajunya. Membuat ia tidak sabar menanti esok hari. Mereka ada janji jalan.

Ia masih saja tidak menyangka kalau Ervan akan mengajaknya jalan besok. Ternyata, Ervan tidak sedatar yang ia pikir. Pria itu memang kadang-kadang tidak bisa ditebak.

Jagat Raya Trisha (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang