37. Simpul Tali yang Lepas

689 62 8
                                    


Bus yang Ervan tumpangi akhirnya berhenti di terminal. Ervan terbangun oleh suara khas kenek bus, lantang menginformasikan bahwa perjalanan mereka telah sampai di kota tujuan. Ervan berkemas, memikul ransel dan menenteng koper hitamnya menuruni bus. Langit masih gelap, waktu menunjukkan pukul empat pagi. Tidak ada sanak saudara yang menjemput. Namun, ia tahu harus ke mana setelah ini.

"Taksi, Mas?" Tawaran dari supir taksi konvensional yang menghampirinya ia tolak halus.

Ervan lebih memilih memesan taksi online sebab dirasa sedikit lebih hemat ongkos. Mengingat ia hidup sendiri di kota asing ini, tentu ia harus bisa bertahan dengan apa yang ia bawa sekarang. Jumlah uangnya di rekening tidaklah banyak. Sebelum  uang pengangannya habis, akan Ervan pikirkan bagaimana solusinya nanti. Ervan juga sempat menolak kompensasi dari Admaja waktu itu. Uang atau apa pun dari mereka tidak bisa mengganti apa yang sudah terenggut dari dirinya.

Ervan bergegas kala taksi online pesanannya datang tak lama kemudian. Duduk di samping driver, Ervan menikmati perjalanan menuju indekos yang telah ia pesan melalui media sosial. Ibu kos sudah menerima teleponnya untuk serah terima kunci kamar pagi ini.

Indekosnya terletak di lokasi strategis, paling dekat dengan tempat Kinan berada saat ini. Sudah lama ia tidak bertemu dengan kakaknya, apakah Kinan masih mengenalinya?

Ervan mengetuk pintu rumah ibu kos. Bu Darsi--pemilik indekos--muncul mengenakan daster batik menyambut kedatangan Ervan sejurus menyerahkan kunci kamar. Ervan mengekori wanita paruh baya itu menuju kamar sewaanya dengan melewati sembilan pintu kamar terlebih dahulu. Kamar Ervan berada paling ujung.

"Semoga, Mas Ervan betah tinggal di sini, ya," ucapnya ramah.

"Terima kasih, Bu."

Setelah ibu kos undur diri, Ervan menghuni kamar dengan mengedarkan pandangan ke tiap sudut. Kasur busa ukuran single membentang di lantai pojok dekat dinding, di sampingnya lemari plastik sedang tiga sekat juga tampak mengisi ruang sebagai fasilitas yang didapat jika mengontrak di tempat ini. Ervan menurunkan ransel yang sejak tadi ia pikul. Tubuhnya sudah terduduk di tepi kasur busa. Ia menghela napas sebelum membaringkan diri.

Di sini ia akan menata ulang hidupnya. Merelakan apa yang sudah terjadi. Mengikhlaskan apa yang tidak bisa ia miliki. Melebur dendam serta kebencian dalam penerimaan dan kelapangan hati.

Ervan memejam, ia lelah. Meski sudah sejauh ini ia pergi, benaknya belum bisa berhenti memikirkan gadis yang dicintai.

Matahari bersinar samar-samar setelah semalaman hujan turun mengepung kota. Ini jadi pagi pertama Ervan sejak ia memutuskan mutasi. Pria itu bergegas untuk agenda hari ini.

Berjalan keluar dari gerbang indekosnya, pria itu berencana mengisi perutnya terlebih dahulu. Ia mampir ke sebuah warung makan pinggir jalan yang menjajakan soto kwali khas kota itu.

"Sotonya satu makan sini, ya, Bu," kata Ervan pada wanita paruh baya yang sedang sibuk di depan gerobak dagangannya.

"Nasinya campur apa dipisah, Mas?"

"Campur aja, Bu."

"Baik, Bas," sahut penjual ramah.

Ervan kemudian duduk di salah satu sudut meja. 

Seseorang yang lain mendekat ke mejanya. "Mau minum apa, Mas?"

"Air dingin aja, terima kasih." Ervan menghentikan pergerakan lelaki paruh baya yang ia duga suami ibu penjual soto. "Eem, maaf, apa benar deket sini ada rumah sakit jiwa ...." Ervan menjeda, menilik layar ponselnya. "Harya Husada?"

Jagat Raya Trisha (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang