10. Momen

492 54 10
                                    


Tangan bertaut, tatapan mata bertemu. Waktu seolah ingin menghentikan pergerakannya demi merayakan momen mereka ini. Baik Trisha maupun Ervan memilih menikmatinya--saling menatap dengan lekat.

Setelah dirasa cukup memandangi Ervan, Trisha lantas tersenyum dan melepas genggamannya. "Ayo berangkat," ujarnya lembut.

"Ke mana?"

"Jalan aja dulu, nggak usah pikirkan tujuan."

"Kamu nggak kuliah hari ini?"

"Kuliah bisa besok. Hari ini aku mau jalan sama kamu. Memaksakan kuliah juga yang ada pikiranku nggak berada di tempat."

"Begitu, ya?"

"Hmm."

"Jadi, kamu bolos hari ini?"

"Udah, ah, ayo jalan."

Mereka akhirnya memulai perjalanan tanpa tujuan. Kuda besi milik Ervan sudah menapaki jalanan aspal yang selalu ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan lain. Ikut menyumbang kemacetan ibu kota.

Tidak masalah harus ikut terjebak kemacetan dan terpapar terik matahari, asal bersama Ervan, Trisha merasa semuanya terasa indah.

Setengah jam mereka berkendara tanpa arah dan tujuan. Akhirnya Ervan menepikan motornya ke lapak penjual mi ayam kaki lima di pinggir jalan.

"Kok, ke sini?"

"Makan siang dulu," sahut Ervan setelah melepas helmnya.

Trisha mengedarkan pandangan ke arah tempat makan mi ayam yang tampak sederhana itu.

"Kenapa? Kamu nggak suka mi ayam?" tanya Ervan sambil merapikan rambutnya. "Atau kamu nggak bisa makan di tempat seperti ini?"

"Ah, bukan begitu. Aku suka mi ayam, kok. Rasanya sudah lama sekali aku nggak makan mi ayam. Yuk!" Trisha melangkah lebih dulu. Ervan memicing sesaat sebelum menyusul langkah Trisha di belakang.

Gadis itu duduk setelah meletakkan tote bag-nya di meja. Ervan menyusul duduk tepat di hadapannya.

"Pak, mi ayam dua," pesan Ervan pada penjual mi.

"Baik, Mas. Minumnya?"

"Mau minum apa, Tris?"

"Samain kamu aja."

"Es tehnya dua, ya, Pak."

"Njeh ditunggu ya, Mas," sahut ramah penjual mi ayam dengan logat Jawa-nya.

Trisha melipat tangan di atas meja sambil mengedarkan pandangan ke tiap sudut lapak. Tampak kursi-kursi plastik berjajar tanpa sandaran, meja kayu memanjang, dan daftar harga yang terpampang di dinding lapak. Ervan memperhatikan Trisha. Ia sengaja tidak mengalihkan tatapan bahkan saat netranya bertemu dengan netra gadis itu. Menyadari tatapan Ervan, bulan sabitnya melengkung.

"Kenapa, Van?"

"Enggak," jawabnya santai. "Demi bisa jalan sama aku, kamu sampai rela bolos. Aku takut membawa pengaruh buruk buat kamu, Tris."

"Pengaruh buruk apa, sih, Van?"

"Silakan ...." Penjual mi datang meletakkan dua gelas es teh di meja, menjeda obrolan yang baru saja dimulai.

"Makasih, Pak," sahut Trisha sewajarnya.

"Lain kali jangan bolos lagi." Ervan mengaduk gula dalam gelas yang masih belum larut sepenuhnya.

"Iya, baiklah." Lagi-lagi Trisha tersenyum. "Jadi, sekarang kamu udah nggak ngambek lagi, kan, hum?"

"Siapa yang ngambek?"

Jagat Raya Trisha (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang