Trisha berdiri menatap lurus pada bianglala raksasa di hadapannya. Silir angin menerbangkan helaian rambut sepunggungnya yang tergerai. Langkah kaki gadis itu mulai terayun mendekat ke arah loket, memesan satu tiket untuk dirinya sendiri.Satu tiket dan satu set gembok cinta sudah ia dapat. Trisha terdiam sejenak menatap satu set gembok cinta itu kemudian menghela napas. Sesungguhnya ia takut ketinggian. Namun, ia datang ke tempat ini karena amat merindukan Ervan.
Perhatiannya kini jatuh pada deretan gembok cinta yang tersemat di pagar besi tepat sebelum pintu masuk wahana. Gadis itu tampak mencari gembok cinta miliknya. Menyibak gembok-gembok lain yang menumpuk di sana, jumlahnya semakin bertambah banyak sejak terakhir ia berkunjung ke tempat ini.
Trisha tersenyum tipis dengan mata berkaca saat menemukan gembok cinta miliknya. Namanya dan nama Ervan masih terbaca jelas di sana, tidak luntur.
Trisha mengusap gembok itu dengan ibu jari sepenuh hati sambil berkata dalam hati, Ervan, semoga kamu baik-baik aja di mana pun kamu berada.
Tatapan gadis itu beralih ke arah bianglala yang berputar perlahan, mengingatkannya pada memori tentang seseorang.
"Jadi naik bianglala?"
Trisha mendongak pada bianglala raksasa itu. "Semoga aja aku enggak pingsan pas naik bianglala itu."
"Kalau pingsan, aku lempar dari ketinggian."
"Ervan!" Trisha menoleh terkejut kemudian tertawa. Pria itu bisa bergurau juga. "Tega, ya!" Cubitan pelan mendarat di lengan Ervan.
Satu embusan napas lolos. Ia merasa sesak setiap kali teringat Ervan yang sudah begitu dalam menjamah hatinya.
Dengan dada berpacu lebih cepat, Trisha memberanikan diri naik bianglala setinggi 70 meter itu sendirian. Demi Tuhan, ia merasa ngeri berada di ketinggian seperti ini. Rasanya akan terjatuh saja saat bianglala itu bergerak. Dulu Ervan menggenggam tangannya hingga rasa takutnya sirna. Namun, sekarang pria itu pergi, menyisakan rasa kehilangan yang tidak ada habisnya.
Dari ketinggian, pemandangan kota tampak indah berpadu dengan langit melukis senja, burung-burung berterbangan pulang ke sarangnya. Trisha hening sambil memeluk dirinya sendiri. Kalau jagat raya ini membentangkan jarak antara mereka, ia meyakini jodoh tidak akan ke mana. Pepatah itu memang terdengar klise, tetapi Trisha menyakini itu akan terjadi pada dirinya dan Ervan. Berpikir demikian membuat perasaan Trisha sedikit lebih baik. Namun, dalam waktu yang bersaman ia merasa sedang berupaya menghibur dirinya sendiri.
***
Pintu kamar indekos terbuka, Ervan kembali setelah menjenguk kakaknya dan berjalan-jalan sebentar. Ia masih tidak tahu harus melakukan apa di hari-hari pertamanya tinggal di kota ini. Pria itu duduk di atas kasur busa bersandar lemah ke dinding. Lagi, setiap kali ia terdiam, wajah Trisha melintas di benaknya. Bagaimana kabar gadis itu sekarang? Memang baru hitungan hari ia pergi dan tanpa salam perpisahan dengannya. Namun, ini seperti sudah berlalu puluhan tahun lamanya.
Ervan mengulir layar ponsel, menilik hasil jepretan kameranya untuk membaca ulang informasi tentang kompetisi memasak yang ia dapat di papan billboard dekat halte bus tempo hari. Namun, sebuah notifikasi masuk mengalihkan perhatiannya.
Lihat postingan pertama Trishadmaja setelah beberapa saat.
Ervan buru-buru membuka notifikasi. Jangan lupakan Ervan adalah pengikut gelap Trisha di sosial medianya. Kemudian, ia mendapati postingan Trisha berupa gambar bianglala raksasa. Ervan tertegun. Ibu jarinya menggeser gambar berikutnya berupa jejeran gembok cinta yang tersemat di pagar besi sebelum pintu masuk wahana. Matanya mengerjap, caption yang terbubuh di postingan Trisha juga tidak kalah menyentuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jagat Raya Trisha (Completed)
RomansaAwalnya Ervan berniat untuk mempermainkan gadis bernama Trisha Putri Admaja, menghancurkan masa depannya, lalu ia tinggalkan begitu saja. Persis seperti perlakuan yang didapat kakak perempuannya dulu. Dendam serta kebencian mengalir deras di dalam d...