6. Luluh

761 65 6
                                    


Matahari lamat-lamat muncul dari persembunyiannya semalam. Deru mesin cuci mulai terdengar beroperasi--memecah sunyi di pagi hari itu. Beberapa pakaian kotor tampak berputar-putar dari balik pintu berbentuk bulat.

Ervan beranjak saat mesin cucinya mulai bekerja, meneruskan langkah ke dapur minimalis yang terletak bersebelahan dengan ruangan loundry. Ia membuka lemari pendingin lalu mengambil satu butir telur dan beberapa helai sosis dari sana, juga wadah plastik berisi bumbu dapur. Tangannya kemudian terampil mengupas bawang putih, bawang merah, cabai, dan satu lagi bahan yang tidak boleh ketinggalan yaitu terasi bakar. Semua bumbu nasi goreng itu kemudian dihaluskan di atas cobek oleh tangan kokohnya.

Minyak dalam wajan berbahan stainless steel itu mulai panas, Ervan bergegas memasukan bumbu yang telah ia haluskan tadi, menumisya hingga harum. Menyusul telor yang dipecahkan ke dalam wajan. Ervan mengaduknya hingga tercampur merata, barulah nasi putih ikut terjun bersamaan dengan potongan sosis. Ervan mengaduk kembali semua bahan, hingga menimbulkan bunyi khas saat spatulanya mengaduk masakan dalam wajan. Pagi yang riuh untuk seorang pria bujangan sepertinya.

Sepiring nasi goreng terasi sudah siap mengisi perutnya pagi ini. Ervan menyuap sendok demi sendok nasi goreng itu ke dalam mulut. Menikmati sarapan pagi di meja makan seorang diri.

Ervan menghentikan aktivitas mengunyah untuk sejenak. Rasa nasi goreng ini mengingatkan pada ibunya. Ia jadi merindukan mendiang ibunya. Ervan tertunduk, berusaha mengusir sepi yang tiba-tiba menampar.

Pria itu meraih gelas beling berisi air putih dan meneguknya perlahan. Setelah berhasil menguasai diri, Ervan melanjutkan menyuap nasi gorengnya kembali. Ia tidak boleh lemah seperti ini. Buang jauh-jauh perasaan melankolis.

Cuitan burung dalam sangkar dan gemericik air regulator aquarium memberi warna paginya. Ervan tidak sepenuhnya sendiri.

"Miouw ...."

Pria dengan ekspresi sedatar papan reklame itu menoleh ke arah kedatangan kucing peliharaannya.

"Miouw ...." Kucing itu terduduk di lantai dengan tatapan mendongak ke arah Ervan.

Untuk sesaat, Ervan mengabaikan kucing berbulu kecokelatan itu, atensinya kembali pada sepiring nasi goreng di atas meja. Ervan lanjut menyantap sarapannya suap demi suap.

"Miouw ...."

"Kamu lapar Mocca? Tunggu sebentar, ya," ujarnya pada kucing yang ia beri nama Mocca itu. Seolah tahu maksud ucapan Ervan, Mocca tidak bersuara lagi, hanya berjalan mengitari kursi berakhir dengan bergelayut di kaki pria itu.

Setelah selesai dengan sarapannya, Ervan bangkit menuju wastafel, Mocca membuntutinya. Ia menyalakan keran kemudian tangannya luwes menyapu piring kotornya dengan spons yang berlimpah busa. Selesai, pria itu mengeringkan tangan dengan kain lap yang menggantung di dinding.

"Ayo, Mocca sekarang giliranmu makan."

"Miouw ...." Mocca mengekori Ervan.

Di teras rumahnya yang minim, Ervan menuang makanan kucing kemasan ke dalam wadah plastik lengkap dengan wadah berisi air minum. Kucing jantan jenis anggora itu tampak sudah tidak sabar untuk segera menyerbu jatah makannya kali ini.

Ervan berlutut, menatap senyap ke arah Mocca yang lahap. Pikirannya melayang pada Trisha. Hewan berbulu itu selalu bisa mengingatkannya pada gadis pemilik senyum menawan itu. Ya, meskipun Ervan bersumpah akan merampas senyumannya itu.

Hari ini hari Minggu, dia nggak mungkin datang ke kafe, batinnya menatap kosong ke arah lain.

Pandangan Ervan kembali tertuju pada kucing jantannya.
Ervan mengerjap, terlintas sebuah ide di benaknya. Pria itu mengeluarkan ponsel yang sedari tadi berada di saku celana. Ervan kemudian membidik Mocca yang tengah melahap makanan dengan kamera ponselnya. Butuh beberapa jepretan sampai ia mendapat hasil yang terbaik. Terakhir, ia mengunggah hasil jepretannya ke sosial media. Sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. Dengan membubuhkan caption Mocca di sana, ia berharap Trisha menanggapi.

Jagat Raya Trisha (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang