Devan terus berlari menghindari para anak buah ayah Aldio yang melucutinya dengan api. Awalnya dengan mudah ia menghindar, namun karena keadaannya yang semakin mencair. Membuatnya sedikit susah untuk bergerak lincah, ditambah dengan Riva dipunggungnya.
Para anak buah itu masih melempari mereka dengan bara api yang panas. Satu lemparan mengenai lengan Devan dan nyaris mengenai Riva.
Devan mempererat pegangan tangannya, dibawanya Riva dengan nafas yang memburu dan peluh disekitar tubuhnya. Kau tau bahwa para peri salju itu tidak berkeringat? Disaat seperti ini tentunya cairan yang keluar dari pori-pori tubuhnya itu bukan keringat, melainkan air. Ya, dia mencair.
"Kau bisa menghabisi mereka dengan badai salju Van.." Saran Riva yang baru mendapatkan kembali suaranya, walaupun suaranya masih terkesan serak dan berat.
"Hei, kau bisa bicara? Syukurlah.." Devan yang masih sibuk menghindari lontaran-lontaran bara api itu malah tertawa.
"Kamu tidak mendengarkanku.." ucap Riva memajukan bibirnya, Kalau kalian mendengar suaranya. Itu sama sekali bukan seperti suara Riva.
"Apa?" Ucap Devan mengerutkan dahinya.
"Ba.....dai..... Sal.....ju....." Riva mengeja kata-kata itu kembali.
"Oh, kau bodoh atau bagaimana? Tentu saja tidak bisa.." Kata Devan dingin, ia kini mengambil bara api itu dan melemparnya kepada para anak buah Ayah Aldio tak peduli dengan tangannya yang sangat rapuh itu. Headshot..
"Kenapa?" Riva melepas sepatu bootsnya dan melemparkannya kearah para anak buah ayah Aldio. Meleset..
Devan menyingkir bersembunyi dibalik dinding. Nafasnya terengah-engah.
"Karena seluruh kekuatanku kini ada didalam gelangmu.." kata Devan ringan. Riva membesarkan matanya.
"Awalnya kuberi sebagian, tapi karena kupikir kau lebih membutuhkan ya... jadi kuputuskan untuk memindahkan semuanya saat aku memelukmu.." Cerita Devan menggaruk lehernya sambil tersenyum malu.
Riva melotot, ia bahkan hampir membuang gelang itu tadi. Gadis itu kini terdiam, menyesali perbuatannya. Devan terkekeh kecil,
"Gelang itu ada di pintu keluar Van, kita bisa ambil gelang itu dan menghancurkan mereka dengan badai salju.." Ucap Riva polos, Devan mengacak rambut Riva sembari tertawa kecil.
"Mana bisa bodoh, sekali kekuatan itu lepas dari ku. Maka ia takkan kembali kepadaku mengerti?" Devan masih yang dulu, Devan yang dingin namun murah tawa.
"Waktu istirahat selesai,," Devan mempererat gendongannya, Riva mencengkram baju Devan, membawanya lebih erat ke pelukannya.
"Van... Aku takut.." Riva mulai menenggelamkan wajahnya kedalam tengkuk lelaki itu, sebelum ia sadar panas tubuhnya akan mempercepat proses pencairan Devan. Ia menaikkan kepalanya.
Riva tak mau membuat Devan semakin mencair oleh suhu tubuhnya, namun tanpa disangka Devan malah menepuk kepala Riva, dan membawanya kedalam tengkuknya. Ia tau untuk saat ini hanya hal itu yang membuat gadis itu tenang.
"Hey, gak ada yang perlu ditakutkan.." Devan membuka pintu yang menghubungkan lorong dengan ruang tamu.
Kakinya mulai memasuki ruangan itu, Devan merutuki dirinya sendiri atas kecerobohannya. Mana mungkin ia lupa. Tak mungkin mereka dengan mudahnya dapat keluar dari sana.
Suara tepukan kecil terdengar, Ayah Aldio ada disana. Melirik Devan dengan senyumnya yang penuh amarah balas dendam.
"Apa jadinya ya, manusia salju atau bisa kubilang manusia 'cair' berusaha mencuri tahananku?" Katanya masih bertepuk tangan. Riva menggeram.
"Apa masalahmu pak?" Pekik gadis itu, urat lehernya seakan ingin memutuskan diri karena paksaan untuk berteriak.
"Wah, si tahanan kecil sudah bisa bicara rupanya.. biar ku ceritakan ya, apa masalahku.." katanya mulai berjalan mendekati Devan dan Riva.
"Apa kau mengingatku?" Kata lelaki besar itu kepada Devan, Devan terdiam.
"Aku bilang.. Apa kau mengenalku?" Lelaki besar itu kembali berteriak dengan suara menggelegarnya. Wajahnya memerah menatap Devan. Lelaki berambut pirang abu-abu itu hanya terdiam.
Ayah Aldio tertawa kecil, tawa meremehkan. Kemudian tawa itu membesar dan menggelegar.
Seketika ia berhenti tertawa dan memutar-mutar pergelangan tangannya didepan wajahnya.
"Wuusshh... Wusshh..." Katanya mulai memutar-mutarkan dirinya. Aldio dan Riva hanya memandangnya kosong. Menatap si lelaki sinting yang tengah berputar-putar di depan mereka.
Ayah Aldio berhenti berputar,
"Apa kau mengingatnya?! Tornado? Hutan? Anak kebanggaanku?" Ucapnya dengan nada meningkat. Kini dia tertawa kembali. Devan melotot, mana mungkin ia lupa. Lelaki itu adalah lelaki yang sempat ia usir dari hutan oak tempo lalu. Devan terdiam, sembari mengepalkan kedua telapak tangannya.
"Pembunuh harus dibunuh.." ucap ayah Aldio dengan tatapan sadis. Lelaki besar itu menepukkan tangannya kembali, memanggil anak buahnya.
Para anak buahnya tergopoh-gopoh membawa seember bekas minyak tanah, dan menyiram Devan yang terdiam kaku dengan minyak tanah. Lelaki yang disiram hanya mendorong Riva jauh kebelakang, agar tak terkena cipratan minyak tanah.
"Setelah ini mereka pasti akan fokus kepadaku, disaat itulah kau harus pergi.." Bisik Devan dengan senyum tenangnya. Senyum yang membuat perasaan gadis itu kacau balau entah apa. Lelaki besar yang dihadapannya mengeluarkan pemantik apinya dan melemparkannya kearah Devan.
Api menjalar di sekujur tubuh lelaki itu setelah sempat meledakannya, wajahnya yang kini tak beraturan hanya sempat meneriakkan satu kata,
"Riva.. Sekarang.." hanya itu teriakkan terakhir yang Riva dengar, gadis itu berlari menerobos kerumunan menuju luar.
Ia berhasil selamat keluar dari tempat itu, ya selamat sendirian. Kini Riva terduduk diatas tumpukan salju berharap waktu diulang kembali. Ia ingin bersama Devan, apapun yang terjadi. Gadis ity mengeluarkan sesuatu dari kantungnya, gelang. Ya, gelang bening dengan manik-manik kristal salju yang diberikan Devan kepadanya. Yang sempat ia ambil
Gadis itu merutuki dirinya sendiri dalam tangis kecilnya, dalam isakannya, dalam nafas beratnya. Ia merutuki dirinya sendiri dalam diam. Hanya berharap Devan kan baik-baik saja.
"Riva..." suara yang pernah ia kenal memecah keheningan antara Riva dan alam. Suara manusia yang kini ia benci setengah mati, Aldio.
Aldio berdiri dihadapannya sembari merangkul Devan yang sudah tak keruan bentuknya. Ia berlutut membaringkan Devan yang tidak sadarkan diri diatas salju. Lelaki itu menatap Riva diam, penuh penyesalan.
"Maaf atas ayah.. kejiwaannya sedikit terganggu karena meninggalnya kakak.." Aldio tersenyum kecut dan mundur, ia merasa tak pantas untuk berhadapan dengan Riva. Aldio berbalik dan pergi.
Gadis itu hanya terdiam, menelan ludahnya. Tangannya bergetar menyentuh Devan.
"Semua salahku, maaf..." lirihnya menghapus bulir-bulir air mata yang terus mengalir. Membawa Devan kedalam pelukannya. Gadis itu mengeluarkan gelangnya dan melingkarkannya di pergelangan tangan Devan.
Tidak ada yang terjadi, tidak ada sinar yang terpancar atau kilat yang menyambar seperti di negeri dongeng. Tidak ada kerlap-kerlip debu peri atau sihir para penyihir seperti yang sering ia ceritakan kepada anak-anak. Tidak ada yang berubah.
Tangis Riva pecah, tak tau kapan harus berhenti menangis. Gadis itu hanya ingin meluapkan perasaannya sekarang.
Matahari kini telah pergi, kegelapan telah datang. Namun gadis itu masih disana, menanti adanya perubahan. Sampai semuanya gelap, Riva tertidur. Gadis itu tak beranjak sama sekali sejak tadi. Bahkan sampai sekarang dalam lelapnya.
Krek.. Krek..
———————***————————
A/n: haiii,,, aku tauuu ini gak jelas bangetttt.... alurnya kecepetan duuhh... T^T maaf yaaa... cerita ini mau selesai~ gimana ya endingnya? Maaf banget yaaa yang kecewaaa... dan terimakasih yang mau baca.. kritik dan saran selalu diterima

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story on Winter
Fiksi RemajaIni kisah antara aku dan musim dingin. antara aku dan salju. antara aku dan dingin. antara aku dan dia. ya, ini kisah kita. Kita memang tidak mungkin bersatu Cinta kita tidak mungkin bersama tapi kita masih saling memiliki setidaknya sampai musim se...