Nine

1K 75 28
                                    

(Riva Allegra)

Kejadian kemarin bagaikan mimpi buruk yang terus menghantuiku. Anehnya, esoknya aku terbangun di tempat tidurku. Apa kejadian tempo lalu itu hanya sebuah mimpi?

Tapi yang pasti sudah lima hari aku tidak bertemu dengannya, jujur sedikit merindukan tawanya, senyumnya dan ledekannya. Ah tidak, bukan sedikit tapi banyak. Aku sangat merindukannya.

Esok adalah hari pertama musim semi, tapi apakah aku masih punya kesempatan untuk melihatnya terakhir kali? Sebelum ia kembali menjadi bagian dari dirinya yang lain.

Hari ini es mulai mencair, tapi apakah perasaanku ini akan mencair bersamaan dengan salju yang turun dan membekukan hatiku?

Apakah bunga akan tumbuh di hatiku seperti bunga yang tumbuh di musim semi?

Apakah perasaanku ini bisa kembali bersinar layaknya konstelasi aries di musim semi, ataukah harus menghilang layaknya konstelasi cerberus yang lenyap dari imajinasi orang banyak?

Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sembari memotret dedaunan yang mulai tumbuh diluar. Tak mau berlama-lama dengan kegundahan hatiku.

Langkah demi langkah kususuri mengikuti jalan setapak yang sebelumnya terlapisi oleh salju. Entah hanya aku atau apa, tapi musim semi kali ini malah menambah kegundahanku. Tak bisa menghapus luka yang ada di hatiku.

"Sendirian aja..." ucap sebuah suara dari atas, senyumku mengembang mendengar suara itu. Berharap itu bukan hanya sekadar imajinasiku atau harapan semu.

Aku menoleh, Devan disana. Ya, Devan, si putih jahil, dingin, tapi manis. Ia menyeringai kecil sambil lompat menuruni pohon oak itu.

"umm.. Hai.. apa kabar?" Ujarnya canggung memulai pembicaraan, senyumku melebar..

"umm.. Baik, kau?" Seluruh tubuhku merasakan getaran dahsyat, inikah rindu? Atau hanya nafsu belaka?

Lelaki itu menggaruk kepalanya sambil tertawa konyol. Ia seketika kembali memanjat pohon oak itu dan mengulurkan tangannya.

"Mau naik?" Tanyanya masih mengulurkan tangannya, aku bagai terhipnotis menyambut uluran tangannya. Uluran tangan yang hangat tanpa dingin sedikitpun.

"Terimakasih.." ucapku padanya setelah mendapatkan posisi yang nyaman di dahan pohon oak.

Suasana antara kami canggung, dan aku tidak tau apa penyebabnya. Ia masih diam menatap mentari pagi yang mulai tampak di cakrawala.

"Van?" ucapku menatapnya, ia masih memandang langit yang tampak cerah dengan senyumnya.

"Hmm.." ia hanya bergumam tanpa bergeming menatapku.

"Apa besok kau akan kembali menjadi dirimu yang lain?" Tanyaku mencoba mengeluarkan kegundahanku, ia menoleh kearahku dengan wajahnya yang dingin tapi tenang.

"Aku belum cerita ya? Diriku yang lain telah meninggal 5 hari lalu.." ucapnya datar dengan senyum tipisnya. Kata-kata itu malah semakin membuatku kacau.

"L...Lalu?"

"Tentu saja besok aku akan bersama diriku yang lain.." kata-kata yang keluar dari bibirnya, kata-kata yang tidak ingin kudengar sebelumnya. Disaat perasaan ini mulai tumbuh, apa disaat itulah ia harus pergi?

Aku tersenyum kecut menatapnya, ia yang begitu tenang, ia yang begitu dingin, ia yang selalu membuatku nyaman.

"Ohiya, maaf soal gelangmu.." kata Devan mengambil sesuatu dari kantung celananya. Ia mengeluarkan gelang, gelang yang sama persis seperti gelang yang ia berikan namun retak.

"Apakah kekuatanmu kembali?" Pekikku antusias menerima gelangnya, ia hanya menggeleng pelan masih dengan senyumnya.

"Kubilang, tidak berpengaruh.." katanya menggaruk kepalanya sambil menyeringai canggung.

"Mau makan sup?" Ucap Devan seketika. Aku menoleh padanya, apa yang ia pikirkan? Ia akan meleleh kembali.

"Ini hari terakhirku juga, jadi tak masalah kalau harus berhadapan dengan benda panas itu.." ucapnya ringan menyentuh kepalaku, ia menggait leherku dan merangkulku. Tubuhnya yang hangat semakin membuatku khawatir.

"Aku ingin disini saja.." lirihku padanya, tak berani menatap wajahnya. Ada apa sebenarnya?

Seketika kurasakan kehangatan menyelimutiku, Lelaki itu memelukku erat, sangat erat mungkin sekuat tenaganya.

"Aku tidak mau kehilanganmu Riv.." lirihnya kecil, kurasakan beberapa bulir air mata hangatnya menjatuhi rambutku. Aku membalas pelukkannya. Suara ini bagai tertahan di kerongkonganku, speechless, lebih tidak bisa bicara dari tempo lalu.

"Apa kamu juga merasakan hal yang sama?" ucapnya menyentuh wajahku, mengusap bulir-bulir air mataku dan menenangkan isak tangisku.

Aku gak mau kehilangan dia, sudah jelas. Tapi apadaya jikalau esok hari aku harus kehilangan dirinya.

"Udah dong nangisnya..." ucapnya tersenyum mengusap pelupuk mataku. Kenapa aku harus merasakan hangatnya tangannya?

"Sendirinya juga nangis.." ucapku menghapus bulir air mata di pipinya.

Kami mulai tertawa bersama, bersenda gurau dibawah pohon oak. Ia masih Devan yang dulu, Devan yang kukenal selama musim dingin.

Hingga malam tiba kami sempat berbincang tentang astronomi, dan ia masih Devan yang dulu. Devan yang selalu bersemangat menunjukkan konstelasi-konstelasi bintang yang kini telah berganti.

Hingga kini menjelang fajar, aku dan dia masih sibuk bersenda gurau. Aku tak peduli apakah ini akhir atau apa, yang pasti aku akan memanfaatkan waktu yang tersisa bersamanya.

"Riv..." lirihnya padaku, aku menoleh.

"Kalau aku bisa hidup lebih lama, apakah kita bisa hidup bersama?" Ucapnya memandang langit yang masih gelap.

"Aku gak mau kamu pergi..." lirihku pelan, ia mengusap rambutku.

"Aku gak kemana-mana Riv.. tapi disini jaga diri baik-baik ya.." tawanya. Perih rasanya untuk menahan tangis disaat seperti ini. Aku tersenyum tapi nyatanya senyum itu berubah menjadi senyum kecut.

"Tuhkan nangis lagi, hahaha.. udah dong Riv, ntar aku gak tenang" kata Devan mengacak rambutku.

Fajar tolong jangan datang dulu. Aku masih ingin bersamanya. Aku masih ingin ia ada disini. Aku masih ingin mendekapnya. Tertawa bersama, Bercanda bersama. Apakah salah? Bersamanya apakah salah? Oh, Fajar..

Hening, mengobrol dengannya hanya akan membuat tangisku bobol. Tapi...

"Riv, lihat.." tunjuknya menatap indahnya semburat jingga dilangit. Tidak... jangan datang sekarang..

Devan ambruk seketika dengan senyum yang masih menempel di wajahnya.

"Hari ini indah banget ya Riv, seindah dirimu.." tawanya lemah, Lelaki itu kini terbaring di rerumputan yang mulai tumbuh.

Sinar mentari yang menjalar mencairkan salju-salju diatas tanah, juga menghapus senyumanku.

Aku menahan tangisku, aku ingin melepas Devan dengan tenang.

"Riv, Jangan nangis ya.." lirih Devan tertawa lemah, tawa itu berakhir dengan keheningan. Devan menutup matanya, diiringi dengan isak tangisku.

Aku mendekatkan wajahku mengecup dahinya yang hangat dan berbisik,

"Hari ini indah Van, juga seindah dirimu.." ucapku masih berharap ada jawaban. Tiada jawaban, hanya desir angin musim semi yang berhembus.

Apakah aku bisa melaju? Disaat hatiku kini telah memilihmu? Apakah aku bisa tergerak? Disaat suara hatiku menyebut namamu marak? Apakah aku bisa melupakanmu? Disaat kau pergi dan menjauh? Aku ingin mendekapmu, bersamamu, tapi mustahil rasanya. Musim dingin telah berlalu, Musim semi telah datang. Indahnya hari ini, seindah senyumanmu.

"Devan, jangan pergi..."

———————***———————

A/n : huehehehe haiii,, gimana part ini? Oke makin alay aku mengakuinyaa, kritik dan saran selalu diterima. Ceritanya mau abis looh (ga ada yang respon) ditunggu yaa lanjutannya.. mudah-mudahan Riva cepet muvon, Aldionya buat aku /plak..  jangan ada yang kecewa yaa trus langsung protes ke saya minta di hapus ceritanya /plak.. pokoknya terimakasiih sama yang sempet-sempetin baca~ see you next time

Mulmed rain by motohiro hata

Our Story on WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang