Five

995 68 20
                                    

Tokk.. tokk..

Tokk.. tokk...

Tokk.. tokk...

Tokk.. Tokk.. Tokk..

BRAKK..

Jendela kamar Riva terbuka oleh angin. Walaupun bukan angin dalam artian sebenarnya.

Melainkan seorang laki-laki yang kini berdiri didepan tempat tidur Riva. Memandanginya tertidur, siapa lagi kalau bukan si manusia salju.

Riva mengerjapkan mata, melihat bayangan Devan.

"Devan?! Gak sopan masuk kamar orang sembarangan, ketuk dulu.." omel Riva kaget melihat Devan duduk ditempat tidurnya, pipinya benar-benar merah. Devan mengangkat bahunya.

"Aku mengetuk lebih dari satu jam, dan tidak ada jawaban, eh ternyata... si putri masih asik tidur.." Katanya menaikkan alis.

"Lagian ngapain juga bangunin orang pagi-pagi.." Ucap Riva kesal.

"Lupa ya?" Riva hanya menaikkan alisnya mendengar pertanyaan Devan.

"Besok berangkat pagi-pagi, dan kita berangkat mengunjungi dirimu yang lain, aku gak mau tau kalo kamu belom bangun dan aku udah siap, awas aja..." Omel Devan mengulangi perkataan Riva semalam dengan intonasi ala Riva.

Riva terdiam, mukanya memerah ketika Devan meledeknya begitu.

————***————

Badai salju membawa Devan dan Riva menuju sebuah desa kecil diseberang hutan Oak. Desa itu unik, dipenuhi oleh bebukitan Devan menapakkan kakinya dan menurunkan Riva dari bekapannya.

"Dari sini kita jalan.." ucap Devan menarik tangan Riva. Riva terkejut.

"D-dinginn..." ucap Gadis itu, Devan langsung melepas genggamannya.

"Maaf..."

Mereka berjalan menapaki bukit demi bukit.

Diatas bukit itu, berdiri sebuah bangunan kokoh.

Bangunan putih kuno layaknya kastil.

"Ayo masuk.." Ucap Devan mendahului Riva masuk kedalam.

Tak banyak orang didalam, hanya ada beberapa orang dengan kursi roda dan banyak orang berpakaian putih. Tunggu, ini rumah sakit?!

Devan dan Riva terus berjalan menyusuri lorong demi lorong. Hawa panas dari pemanas menyejukkan hati Riva.

"Dev..." panggil Riva dari belakang, Devan yang berjalan didepannya hanya bergumam ringan.

"Hmm?"

"Mau apa kita ke rumah sakit?" Tanya Riva mulai curiga, mungkin ia takut apabila ternyata Devan ingin membunuhnya.

Seketika langkah Devan terhenti, ia berbalik dan berjalan ke arah Riva.

"Kita sudah sampai va..." katanya merangkul Riva, gadis itu hanya bersemu merah.

"Eh? Jadi dirimu yang lain dimana?" Tanya Riva riang, tidak sabar melihat kembaran Devan. Apakah itu peri penjaga musim panas?

Devan melirik jendela dan menunjuk sesuatu didalam sana, napasnya yang dingin membuat jendela itu berembun dan embun-embun itu membeku. Riva yang terlanjur penasaran, ikut memanjangkan kepala menatap masuk kedalam jendela.

Kali ini yang ditemuinya bukan lelaki kembaran Devan atau peri lainnya.

Melainkan seorang lelaki kurus dengan infus dan selang disana-sini terkapar lemah hanya dengan alat bantu. Mau ikut melihatnya? Ia tampak menyedihkan walapun kalau dilihat-lihat sih memang tampan, tapi sama sekali tidak mirip dengan Devan.

"Van... kau bercanda ya?" Gumam Riva prihatin, hening.

"Van... Devan.." panggil Riva tidak sabaran. Tetap tidak ada jawaban.

Riva dengan jengkel menoleh, tapi tak ditemukannya Devan disisinya.

—————***—————

Sementara itu, si peri terduduk menatap salju-salju yang turun. Tatapan kosongnya punya beribu makna yang tersirat. Tangannya menadah hendak memegang butir-butir salju yang jatuh.

"Kok disini?" Tanya sebuah suara serak tapi lembut, siapa lagi kalau bukan...

"Didalam panas Riv.." ucap Devan cepat sambil menoleh.

Riva duduk disebelahnya. Devan menatap gadis itu sekejap, lalu sibuk lagi dengan dunianya.

"Tadi itu.... kembaranmu?" Tanya Riva tak melepaskan tatapannya kepada Devan.

"Sudah kubilang, dia itu diriku..." Ucap Devan tanpa bergeming. Ia masih sibuk menatap batas cakrawala. Dia itu diriku?

"Memangnya kau pikir aku ini hanya terbuat dari salju?" Selidik Devan menoleh, mengangkat satu alisnya.

Riva mengangguk polos.

Devan tertawa kecil, saking kecilnya mungkin terdengar bagai hembusan nafas.

"Diriku yang lain itu adalah seorang mahasiswa astronomi yang selalu bermimpi untuk bisa bebas bersenang-senang. Karena kondisi fisik yang lemah, diriku yang lain atau sebut saja Dave, sangat terbatasi. Dave hanya seorang pengendara kursi roda dengan jantung yang lemah tapi punya impian besar." Ucapnya menatap Riva tersenyum. Gadis itu menelan ludah sembari tersenyum kecut.

"Lalu?"

"Ya, akhir musim Gugur kemarin Dave jatuh koma, dan akulah impian Dave itu, aku mimpinya." Ucapnya tersenyum.

"Jadi kau itu Dave?"

"Bukan, aku hanya perwujudan dari mimpinya, memangnya kau pikir snow bunny itu kelinci beneran? Mereka hanya perwujudan mimpi dari para kelinci yang berhibernasi" Kata Devan lembut, ia kini tersenyum.

Riva mencoba tersenyum, namun ia malah tersenyum kecut.

"Berarti pada musim semi nanti mimpinya akan hilang?" tanya Riva. Devan mengacak rambut Riva sambil tertawa kecil.

"Tentu saja kami akan kembali menjadi bagian hati dari diri kami yang lain.. sementara tubuhnya meleleh.." ucap Devan tertawa, Riva membuka mulut hendak melontarkan pertanyaan lagi, tapi ia mengurungkan niatnya.

"Udah yuk balik..." tarik Devan meraih wintercoat Riva.

——————***——————

Sore itu cerah, langit tampak kemerahan di ufuk, Devan sedang bersantai diatas pohon oak sembari memantau keadaan hutan.

Tak disengaja ia melihat bayangan Riva, ya Riva Allegra. Baru hendak menghampirinya namun ia mengurungkan niatnya.

Riva bersama seorang laki-laki yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

Our Story on WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang