One

1.5K 95 34
                                    

(Riva Allegra)

"Devan.... Devan Foster" Kata lelaki itu masih dengan senyumnya.

Aku tertegun, Kata kata terimakasih ini masih menyangkut di tenggorokanku. Manusia macam apa aku ini, diselamatkan tidak tau berterimakasih.

Aku mengulurkan tanganku, ia tampak bingung awalnya. Ia membalas uluran tanganku. Tangannya berada di genggamanku sekarang. Dingin hanya itu yang kurasa.

"Riva Allegra." Ucapku, menahan dingin. Tangannya dingin, sedingin salju. Tangannya dingin menusuk. Tangannya dingin, sedingin udara di luar. Apa ia terkena hipotermia? Melihat ekspresi wajahku, ia menarik tangannya.

"Maaf, aku.." katanya dengan wajah merasa bersalah. Hei, tidak ada yang perlu dimaafkan. Hanya saja, aku baru tau cara berterimakasih kepadanya.

Ku keluarkan sarung tangan yang baru aku beli. Aku meraih tangannya, seketika dingin itu kembali menusuk. Aku memasang Sarung tangan itu dikedua tangannya. Ia lebih membutuhkannya daripada aku.

"Makasih ya udah nolongin aku tadi. Ngomong ngomong disaat badai seperti ini, kamu membutuhkan pakaian yang lebih hangat dari ini." Ucapku sembari membungkuk didepannya. Aku mengerjap, nenek pasti menunggu.

"Nah.. Devan, simpan sarung tangan itu baik baik ya.. anggap itu ucapan terimakasihku. Aku duluan ya." Ucapku melambaikan tangan padanya, mulai beranjak pergi meninggalkannya sendiri.

Aku berhenti di sebuah gedung tua. Apartemen kuno ini sudah menjadi rumahku selama 3 tahun terakhir semenjak aku dan nenek pindah dari los angeles.

Aku berhenti dikamarku, terdengar suara batuk dari luar pintu. Oh nenek, cuaca dingin semakin membuat keadaannya tambah parah.

Aku membuka kunci kamar, dan suara batuk itu menghilang. Aku tahu nenek berpura pura sehat. Aku tahu itu.

"Nenek akan kuambilkan beberapa selimut lagi dibawah. Sementara itu, tunggulah didekat perapian. Itu akan membuat nenek lebih hangat." Ucapku menaruh kantung belanja diatas meja.

"Ah tidak perlu,, api perapian ini sudah cukup menghangatkanku." Kata nenek sambil tertawa, aku menghela nafas. Beranjak menuju luar kamar. Aku akan tetap mengambil selimut.

——————***——————

Malam itu badai mulai mereda, namun dingin masih merebak. Akibat badai, banyak transportasi yang tidak bisa berjalan. Aktivitas juga sepertinya tidak berjalan seperti biasa, kolam kolam dan genangan air mulai membeku, jalanan mulai penuh dengan tumpukan tumpukan salju.

Kalau kita menulusuri jalan menuju barat kota, kita mendapati hutan pohon oak. Pohon-pohon itu tertutupi salju.

Ayo kita mengunjungi Riva di apartemennya.

Jam menunjukkan pukul 22.10, Kamar Riva dan neneknya gelap, tidak ada berkas Sinar lampu sedikitpun. Itu artinya mereka sudah tidur. Pergi? Tidak, tunggulah sebentar.

Itu Riva, ia sedang tertidur lelap di tempat tidurnya. Ia, cantik. Dengan senyum tersungging di wajahnya yang terpejam.

Jendela seketika terbuka, angin malam masuk kedalam kamarnya. Begitu juga dengan seseorang lelaki. Ah, itu lelaki tampan yang tadi. Ia memperhatikan Riva yang tertidur. Lalu tersenyum. Ia sepertinya tertarik dengan gadis itu.

"Selamat tidur, matahari." Katanya beranjak menuju meja, mengambil 1 set selimut lalu menyelimuti Riva. Ia kembali ke jendela lalu keluar. Seketika jendela itu tertutup lagi, dan ruangan itu menjadi hangat.

——————***——————

A/N : helloo.. sekali lagi minta maaf kalo cerita ini agak absurd dari awal. Btw makasih ya yang udah sempet sempetin baca cerita ini walaupun cerita ini enggak menarik. Btw kasih komen doong.. butuh kritikan nih..

Btw mulmednya niall horan

Our Story on WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang