Riva mengeluarkan kepalanya dari jendela, hendak menikmati butir butir salju yang turun di waktu petang.
"Heii..." sapa Devan menonjolkan kepalanya dari jendela. Ia melayang..
"Me..melayang?" Pekik Riva melihat kaki Devan yang tidak menyentuh tanah, apalagi ia berada di lantai yang lumayan atas.
"Salju itu ringan Riva.." jelas Devan mengulurkan tangannya menggait tangan Riva dan menariknya..
Riva menepis tangan Devan.
"Mau membunuhku?" Tanya Riva sedikit menjaga jarak. Devan menggeleng tertawa.
"Tidak bukan seperti itu,, ini baru mau membunuhmu.." Katanya menarik tangan Riva, membawa Riva kedalam bekapannya. Kini Devan bisa merasakan degupan jantung Riva yang tak keruan.
Riva sempat memberontak, tapi menyadari keberadaan mereka, melayang 5 kaki dari tanah. Riva mempererat pegangannya di kaos Devan mengingat ia phobia ketinggian.
"Bilang saja terus mau dipeluk" cuek Devan. Riva memukul pelan badan Devan dan berteriak
"Biarkan aku turun.." pekik gadis itu. Devan hanya tertawa puas..
"Coba aja turun sendiri.. gak berani? Atau masih mau dipeluk?" Godanya masih tertawa. Riva kembali memukul-mukul Devan yang tengah iseng.
Devan akhirnya menapakkan kakinya, menurunkan Riva dari atas. Ia tersenyum manis.
"Rasanya aku akan merindukanmu.." Katanya dengan tertawa.. Riva menunduk.
Ya, aku juga. Batin gadis ituDevan menjentikkan tangannya, dan bola-bola salju berterbangan kearah Riva.
Gadis itu hendaknya ingin membalas, tapi membuat satu bola salju aja sudah kewalahan. Ditambah lagi dengan serangan bertubi tubi Devan yang terus menyerangnya.
"Cukuup..." Teriak Riva tertawa lepas.. ia menghempaskan dirinya ketumpukkan salju. Memandang langit yang mulai berwarna jingga kemerahan. Dengan Devan disebelahnya. Mereka terduduk, menatap batas merah cakrawala. Menatapi burung-burung yang lalu-lalang kesana kemari hendak mencari rumahnya. Menatapi rintik-rintik salju yang turun, ah pertengahan musim salju yang indah.
Sudah mulai malam, namun belum ada tanda-tanda akan terjadi badai. Riva dan Devan masih berada di atas tumpukan salju-salju tebal itu. Riva tentu takkan takut apabila badai datang seketika karena Devan ada disampingnya.
"Ahh... ada segitiga musim dingin.." tunjuk Riva melukis lukis bintang di langit. Jarinya perlahan lahan menunjuk dan bergerak mengikuti pola-pola bintang.
"Aku tahu itu, itu yang paling terang Sirius dari rasi bintang Canis Mayor , yang itu Procyon dari rasi Canis Minor, dan si merah Betelgeuse dari rasi bintang Orion." Jelas Devan menunjuk 3 bintang paling terang yang membentuk sebuah gugus segitiga musim dingin.
"Dan itu Capella, bintang kembar paling terang di rasi Auriga.. aku bingung kenapa mereka kembar.." tunjuk Riva menunjuk sebuah bintang yang cukup terang. Devan melirik gadis itu.
"Gravitasi, mereka dihubungkan oleh gravitasi.. Mereka indah ya dalam bentuk raksasa ini, sayangnya mereka sekarang dalam tahap pendinginan, menanti saat dimana pembakaran hidrogen di intinya telah memasuki fase akhir.. just like me.." Ucap Devan menunjuk bintang yang berdekatan. Ia menghela nafas.
"Wow... Astronomimu bagus juga ya untuk seorang manusia salju.." Tawa Riva. Devan kembali menghela nafas.
"Diriku yang lain sangat menyukai astronomi dan kuliah jurusan astronomi.." Ucapnya masih memandang Capella bintang kembar yang terang benderang itu.
"Memangnya kau punya berapa diri?" Riva mengerutkan alisnya.
"Mau menjenguknya besok?" Tanya Devan.
Kedua muda mudi itu duduk dibawah taburan beribu bintang-bintang yang menghiasi angkasa luar.
————***—————
A/n: masih ada yang baca kah?
Aneh yaa? Maafkan saya, dan makasih sebesar besarnya pada yang nyempetin baca... lope lope on the airr ttd Forursmile~
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story on Winter
Teen FictionIni kisah antara aku dan musim dingin. antara aku dan salju. antara aku dan dingin. antara aku dan dia. ya, ini kisah kita. Kita memang tidak mungkin bersatu Cinta kita tidak mungkin bersama tapi kita masih saling memiliki setidaknya sampai musim se...