Melting

963 75 24
                                    

Ketika kau datang membawa sejuta harapan.
Dan kini kau pergi meninggalkan sejuta kepedihan.
Meninggalkan luka, duka dan kesendirian.
Apa aku yang terlalu berharap?
Ataukah kata 'kita' memang hanya sebuah fatamorgana?
Atau semua ini hanya mimpi belaka?
Yang tak pernah kita raih?
Yang tak pernah kita gapai?
Apa aku bisa? Berdiri tanpamu sebagai penopangku?
Apa aku mampu? Hidup tanpa bayangmu?
Apabila matahari mencairkan semua termasuk harapan kita, apa aku bisa menjadi sosok yang dapat menjaga harapan itu?
Apabila kegelapan datang, dapatkah aku menjadi pelita yang menerangi jalanmu?
Tetaplah bersamaku, kita bangun masa depan yang cerah.
Tetaplah bersamaku, kita junjung harapan kita menjadi nyata.
Disaat dirimu punya sejuta alasan untuk pergi, mengapa tidak mencari satu alasan untuk tinggal?
Disaat dirimu punya segudang paragraf untuk ucapkan selamat tinggal, mengapa tidak mencari satu kata untuk tetap disini?
Denganmu aku bisa mengubah fatamorgana menjadi nyata.
Hanya harapan, harapan yang ku punya saat ini.
Agar kau tetap tinggal.

Gadis itu masih disana, masih menatapnya wajah lelaki yang kini terbujur di hadapannya dengat raut wajah sendu. Terlalu dini untuk menyadari dan terlalu terlambat untuk menyesali. Tangannya bergetar menyentuh wajah lelaki itu, dibelainya wajah lelaki itu dengan segudang air mata di matanya.

"Devan, jangan pergi.." lirih gadis itu menatap sosok lelaki dihadapannya, tangannya mengepal, isakan tangis itu rasanya mustahil untuk berhenti.

Gadis itu memeluk lelaki dihadapannya, erat tanpa bergeming sedikitpun. Diluapkannya seluruh perasaannya melalui pelukan itu, semua emosi, rasa penyesalan, amarah dan luka yang amat dalam.

Tanpa sadar, kehangatan menyeruak menyelimutinya. Sebuah tangan kini tengah mengelus rambutnya dan tangan satunya membalas pelukan Riva. Dengan tawa khasnya Devan tertawa terbahak-bahak. Gadis itu kini cemberut,

"Devan gak lucu ah.." ujarnya memukul dada Devan. Lelaki itu masih tertawa dengan puasnya, beberapa saat kemudian ia baru berhenti. Kini tangannya menyentuh mata Riva, mengusapnya dan mengecup ringan matanya.

"Jangan nangis lagi, aku gak kemana mana Riv" ucap lelaki itu setengah tertawa. Riva membelalak,

"Siapa juga yang nangisin, jangan terlalu percaya diri Van, gak baik.." Ucap gadis itu setengah tertawa.

"Bener ya? Nanti kalo aku pergi, kamu nangis kayak bayi lagi.. huhuu Devan.." ledek Devan menirukan suara tangis Riva, gadis itu hanya mendengus kesal sambil belum berhenti memukul dada Devan.

"Ngomong-ngomong....." Gadis itu mengerutkan alisnya.

"Pasti bertanya hal itu, yasudahlah mau diapakan lagi.. ku jelaskan deh.." Devan menghela nafas memulai ceritanya.

—————()()()()——————

Krek.. Krek..

Bunyi itu mulai membesar, menjadi distorsi ketenangan dua hati yang tak sadarkan diri itu. Gelang berbentuk manik salju yang terlingkar di pergelangan tangan Devan, retak dan mulai pecah menjadi beberapa bagian kecil.

Seekor beruang yang berdiri diatas dua kakinya berjalan mendekati dua hati itu, mengangkat dan membawa keduanya pergi...

Devan mulai membuka matanya, merasakan desir-desir angin yang menimpa wajahnya. Rasanya dunia seakan berputar mengelilinginya, ia berdiri dengan sempoyongan berusaha untuk berjalan.

"Belum terbiasa dengan tubuh barumu itu ya?" Ucap sebuah suara dari belakang pohon oak. Lelaki itu mengernyit, ia tak mengerti apa yang barusan beruang katakan.

"Aku pernah bilang kan? Satu kesempatanmu untuk menjadi manusia biasa adalah kau harus menemukan seseorang yang bisa melelehkan hati beku mu.." Ucap Beruang itu masih bersandar di batang pohon Oak tua. Devan terdiam, ia tak percaya akan hal yang baru ia dengar barusan.

"Jadi....?!" Lelaki itu meninggikan suaranya, beruang itu mendekatinya dan memegang pundaknya.

"Selamat Mr. Foster kamu peri pertama yang mendapatkan orang yang tepat, Aku tahu, kau awalnya sangat terpaksa untuk mendekati gadis itu.." Tawa si beruang. Devan tertawa canggung, bagaimana beruang bisa tahu?

"Iya.. dulu sempat kupikir bahwa aku salah memilih matahariku, tapi setelah apa yang terjadi sepanjang musim dingin ini..... aku..." Devan terdiam menatap cakrawala, tersenyum kecil.

"Aku?" Beruang itu masih menunggu lanjutan dari Devan.

"Aku ingin mengerjainya hahaha..." Tawa Devan berguling-guling diatas salju putih yang mulai ditumbuhi rumput.

—————()()()———————

Satu cubitan melayang ke perut Devan, lelaki itu hanya mengaduh sembari tak berhenti tertawa.

"Jadi kamu deketin aku itu terpaksa?" Riva mengernyitkan dahinya, Devan mengangguk pasti.

"Gak manusiawi.." protes Riva yang masih melayangkan cubitan-cubitan kecilnya di perut Devan.

"Terpaksa sekali... dulunya.." Devan mengecilkan suaranya. Riva menoleh,

"Dulunya?"

"Sekarang juga begitu.." lirih lelaki itu. Riva mengerucutkan bibirnya.

Devan mendekatkan wajahnya, membuat gadis itu memerah. Ia mendekatkan wajahnya disamping wajah Riva, dan berbisik,

"Begitu mencintaimu, hahaha..." ucap Devan tertawa terbahak-bahak, ini hanya aku atau memang lelaki itu lebih terlihat hangat?

Riva menjitak Devan,

"Devan, kau menggelikan.." ucapnya membuang muka. Devan hanya tertawa kecil,

"Tak lebih menggelikan daripada tangismu tadi.. huhuuu Dev..." belum sempat menirukan suara Riva, gadis itu telah membekap mulut Devan.

"Bisa kah kau berhenti Mr. Foster.." ucap Riva memutar bola matanya. Devan mencubit pipi gadis itu.

"Tentu Mrs. Foster.." ucap Devan menekankan pada kata 'Mrs.'

"Aku bukan istrimu, wahai lelaki berambut pirang abu-abu abstrak.." Riva memutar bola matanya kembali. Devan terdiam,

"Ya, kalau mau.. aku tidak keberatan.." ucap lelaki itu kecil, saking kecilnya seperti suara helaan nafas. Wajah lelaki itu memerah, menunjukan wajah kikuk yang tak pernah ia tunjukkan pada Riva. Kini wajahnya tersenyum kecil menatap lekat bola mata hazel milik Riva.

"Riv..." ucap Devan, gadis itu menoleh seakan bertanya 'ada apa?'

"Mau..." Devan masih berusaha mengeluarkan kata-kata yang berada di otaknya. Saking gugupnya, kini jantung barunya berdegup sungguh kencang tak beraturan.

"Mau makan sup bersama?" Ucap Devan kikuk, ia menunduk sembari sesekali di liriknya Riva yang tertawa kecil.

———————***———————

A/n : haiii,, yeyyy udah mau seleseee, tinggal nunggu epilog mungkin(?)

Aku tahu ini mengecewakan, maka dari itu saya pribadi mibta maaf,sebesar-besarnya...  dan terimakasih untuk yang selama ini baca cerita absurd ini... aku tau cerita ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu terimakasih ^^ mulmednya mariah carey-through the rain (gak cocok sih lagu ama partnya) xD

Our Story on WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang