Silent-06

133 54 2
                                    

Setelah dipindahkan ke rawat inap biasa Kelas I, dokter bernama Kenzie Anggoro Pratama itu meninggalkanku berdua dengan Kak Rafa dalam kecanggungan. Tentu saja aku tak akan bicara, tak bisa. Tapi, aku juga tak mampu membuka percakapan kami lebih dulu. Jujur, aku takut untuk memulai. Aku takut karena rasa bersalahku pada Kak Rafa. Aku lagi-lagi membuatnya susah.

Kak Rafa juga diam saja, entah apa yang ia pikirkan. Ia hanya duduk di sebelahku tanpa melakukan apa-apa. Sesekali terlihat gelisah dengan menggerakkan tangannya, menggoyang kakinya, atau berdeham lembut. Kalau saja aku bisa membaca pikirannya, mungkin aku akan tahu apa yang ia pikirkan. Kegelisahannya saat ini melebihi ketika aku masuk rumah sakit sebelumnya karena terlibat masalah Val. Ia juga terlihat kacau. Sepertinya ia memikirkan hal lain selain aku.

Kira-kira sudah satu jam semenjak aku dipindahkan ke kamar ini dan ditinggalkan berdua dengan Kak Rafa. Aku menyerah pada keheningan ini. Meski jarak umur kami jauh dan kami lahir dari rahim yang berbeda, kami tetap memiliki sumber sperma yang sama. Sungguh tidak nyaman berada dalam kecanggungan dengan kakak kandung sendiri, terlebih ia adalah satu-satunya keluarga yang kupunya.

"Maaf," ucapku dengan Bahasa Isyarat. Kepala Kak Rafa terangkat dan menatapku saat melihat gerakan tanganku. Tapi, ia tak merespon. Jadi, aku mengulang kembali ucapanku, "Maaf, aku bikin Kakak susah lagi."

Kak Rafa menggeleng kuat. Ia merebut tanganku yang mengambang di udara saat baru menyelesaikan kalimatku. "Kakak yang harusnya minta maaf. Maaf, Kakak ngerahasiain dari kamu. Harusnya Kakak kasih tahu dari awal. Kamu bisa lebih hati-hati. Maaf, Kakak nggak bisa jagain kamu."

Aku menarik tanganku darinya dengan cepat, meski tenagaku belum sepenuhnya terkumpul. "Kakak nggak salah. Kakak ngerahasiain itu demi kebaikan aku. Aku juga salah karna nggak terbuka sama Kakak." Aku menyengir di balik masker oksigenku. "Kita sama-sama saling ngerahasiain ini karna nggak mau bikin khawatir. Kita sama. Jadi, udahan, ya, maaf-maafannya."

Kak Rafa tersenyum, tapi senyumnya masih belum terlihat ringan. Jadi, aku diam dan menunggu sedikit lebih lama agar ia mau membicarakan masalahnya. "Pak Syaiful dan Charles harus ngerekrut kamu jadi Sena agar kejadian kayak kemarin nggak dianggap penyalahgunaan kekuatan, sekalipun yang kamu lakukan untuk keselamatan seseorang."

Ah, jadi itu yang membuatnya terlihat frustasi sejak awal. Bukan hanya kekhawatirannya pada kondisiku saat ini. Bukan juga karena ia merasa bersalah telah merahasiakannya dariku. Tapi, lebih kepada kekhawatiran karena aku harus bergabung dengan GEMS sebagai Sena. Padahal, ia tak perlu khawatir tentang itu. Dengan bergabungnya aku sebagai Sena, aku punya perlindungan dan pembelaan jika sesuatu yang buruk terjadi dan menyudutkanku. Tapi, mungkin ia punya kekhawatiran lain perihal ini.

"Dulu, waktu kejadian kamu SD, Kakak janji sama Charles untuk membuatmu bergabung dengan Sena saat sesuatu kayak gini terjadi. Kakak sengaja bawa kita pergi jauh, berharap kamu nggak perlu bergabung jadi Sena. Kakak nggak mau kamu terlibat masalah. Kakak nggak mau kamu tumbang kayak gini berkali-kali. Kakak bakal ngerasa bersalah sama Ayah dan Bunda karna nggak bisa jagain kamu."

Melihat Kak Rafa menunduk dalam seperti itu, aku sadar bahwa ia benar-benar mengkhawatirkan keselamatanku. Kak Rafa selalu mampu bersikap rasional, profesional, dan dapat berpikir dengan kepala dingin. Ketakutan dan kekhawatirannya membuatnya terlihat seperti orang bodoh dan ceroboh. Ia seperti bukan Kak Rafa yang kukenal. Bahkan, saat aku sakit, ia tak pernah sampai seperti ini. Ia benar-benar menjadi berbeda.

"Kenapa Kakak kayak gini? Kayak bukan Kak Rafa yang aku kenal." Ia menatapku lama, lalu kembali menurunkan pandangannya. "Hanya bergabung jadi Sena, nggak akan ada apa-apa. Aku bakal baik-baik aja, Kak."

Dia menggeleng. Aku dapat melihat kedua tangannya bertaut dan saling menggenggam kuat. "Bukan masalah keselamatanmu aja, Dek. Kakak tahu kamu bisa jaga diri dan kamu bisa kontrol kekuatanmu," ujarnya, lalu ia mengangkat kepala dan menatapku dengan kening berkerut. Sesaat, rasanya wajah Kak Rafa terlihat bertambah tua lima tahun. "Mereka... Mereka pasti akan langsung tahu keberadaanmu."

Silent: The Cursed Voice [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang