Siperti teka-teki riddle. Aku tidak bisa membaca pikiran Kak Alice, Kak Charles, dan Kak Ray. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan, apa yang sebenarnya mereka ingin sampaikan padaku, bahkan aku tidak tahu apa yang sedang mereka rencanakan. Tapi, mereka ngotot sekali, menyuruhku, Mbak Ariesta, dan Arthur - anak mereka - untuk pergi.
Saat pengunjung hotel dievakuasi, begitu juga dengan staf hotel, kami pun masuk dalam keramaian mereka. Saat sudah tiba di luar hotel, polisi, tentara, dan pasukan keamanan lain, bahkan White Cap, sudah berkumpul dan mengisolasi hotel tanpa kegaduhan. Kami semua dilarang mendekat sampai 1 kilometer. Sungguh, hal ini malah membuatku semakin khawatir.
"Mbak, kita kemana?" tanya Mbak Ariesta di sampingku.
Aku menatapnya beberapa saat, menatap Arthur kemudian, tampak tenang dalam pejamnya karena aku membuatnya demikian sebelum kami meninggalkan kamar Kak Alice. "Kita cari tempat yang nggak begitu ramai. Aku takut ada NE di sekitar sini," jelasku menggunakan Bahasa Isyarat.
Prang!!
Suara kaca pecah terdengar sangat mengerikan, sebab bukan hanyansatu jendela, tapi jendela di salah satu sisi lantai tersebut pecah bersamaan tanpa ada suara ledakan atau sejenisnya. Bersamaan dengan itu, ada beberapa orang yang menjerit dan bergegas meninggalkan lokasi. Namun, tak sedikit juga yang memilih untuk tinggal dan merekam kejadian dengan kamera ponsel mereka.
Rasanya sungguh berat untuk beranjak pergi. Perasaanku tidak enak, firasatku buruk. Meski firasatku lebih banyak tidak terbukti, tapi aku takut kali ini firasatku benar.
"Mbak, ayo, pergi." Mbak Ariesta mencengkeram lengan kiriku kuat. Aku yakin, dia juga cemas dan takut. "Sesuai permintaan Ibu dan Bapak, kita harus pergi bersembunyi, Mbak."
Ariesta benar. "Sebentar," ucapku dengan isyarat. "Kalian harus selamat, Alice, Charles, Ray dan semua Nobles Generasi Pertama," gumamku dengan suara yang rendah dan pelan. Sepelan mungkin, namun tetap bersuara.
Tenagaku seperti tersedot, tapi aku masih bisa bertahan. Nafasku sesak, tapi aku masih bisa mengendalikannya agar tidak memburuk. Aku tidak boleh terlalu memaksakan diri, karena aku harus melindungi Mbak Ariesta dan Arthur. Kami harus bertahan hidup untuk seterusnya sampai waktu yang tepat tiba untuk bertemu kembali dengan Kak Alice, Kak Charles, Kak Ray, dan lainnya.
Aku mengajak Mbak Ariesta yang menggendong Arthur di kedua tangannya untuk pergi dari sana sesegera mungkin. Kami menjauh dari hotel, meski di sana terdengar sangat gaduh, ramai, dan berbahaya. Meski kami takut dan khawatir pada nasib mereka, tapi kami punya peran sendiri.
"Teleport to Old Plantation Way."
Bets!!
Kami tersedot dalam sebuah dimensi yang membuat nafas kami seperti tercekat. Kegelapan yang mengikat kami selama sekian detik, namun terasa seperti beberapa menit. Antara hidup dan tidak. Dan, seperti dimuntahkan dari ruang dimensi yang menkyesakkan, kami pun kini berada di sebuah jalan yang dikelilingi oleh ladang luas dan gelap. Suasananya sepi, samar terdengar suara air dari sungai di belakang kami.
"Huek!" Mbak Ariesta membungkuk dengan tetap memeluk Arthur.
Yah, wajar jika ia mual. Ini pasti pengalaman pertamanya melakukan teleportasi. Yah, ini pun juga pertama kalinya untukku. Tapi, entah bagaimana, tubuhku terbiasa. Hanya saja, aku merasa sangat sesak. Mungkin karena aku menggunakan kekuatanku, bukan karena perpindahan tempat.
"Ini di mana?" tanya Mbak Ariesta lemas.
"Heal." Aku memulihkan kondisinya. Ia tidak boleh sakit. Aku tidak tahu cara mengurus bayi. "Kita di Fort Lewis, 6 jam dari New York." Aku mengangkat tangan kiriku, menatap jam di sana. "Lumayan. Teleportasi kita menghemat 6 jam itu jadi cuma 5 menit," gumamku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent: The Cursed Voice [HIATUS]
Ciencia FicciónWaktu itu umurku masih 3 tahun saat Perang Dunia III terjadi. Papa dan Mama meninggal dalam insiden itu, tepat di depan mataku dan Kak Rafa. Dan, pada insiden itu, aku hampir kehilangan kepalaku. Sebuah tebasan menggorok leherku, memutus pita suara...