Silent-35

61 25 3
                                    

Setelah istirahat tiga hari di sana, kami pun meninggalkan David, Panama untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju Colombia. Walaupun di peta terlihat dekat, tapi tentunya itu sangat jauh. Kalau aku sudah benar-benar pulih, kami akan berteleportasi saja ke sana, meski harus beberapa kali berhenti. Aku tak yakin dengan apa yang terjadi jika kami berteleportasi sejauh itu hanya dengan kekuatanku.

Dari David, kami berhenti di Santiago setelah menempuh lebih dari 70 kilometer. Kami harus mengisi bensin dan memenuhi jerigen-jerigen bensin untuk berajaga-jaga di perjalanan nanti. Kami juga harus berbelanja kebutuhan, karena akhirnya kami memutuskan untuk terus berjalan setelah ini dan baru akan berhenti di Panama City. Di sana, kami akan beristirahat sambil mencari informasi tentang Izumi Akabane.

Saat kami baru masuk di Santiago, Kak Charles menghubungi kami, mengatakan bahwa Izumi Akabane berada di Panama City. Entah apa yang ia lakukan di sana, atau apa yang ia cari. Tapi, kami berpikir mungkin di sana terdapat Manusia Super yang diincar oleh Izumi Akabane. Jelas bukan Generasi Pertama, tapi mungkin di sama ada Nobles. Ini kesempatan kami untuk mengumpulkan Nobles sekaligus menghadapi Izumi Akabane dan mencari tahu rencana Neo Extreme.

Selagi Kak Arka menyetir mobil, Kak Raffa menemaniku di belakang sambil membantuku mencari informasi tentang kejadian yang mungkin terjadi karena Manusia Super. H al ini tentu wajib kami lakukan, karena kami harus tahu di mana kami harus mulai mencari. Dan, ternyata ada cukup banyak kejadian Panama City ini yang bisa disangkut pautkan dengan Manusia Super.

"Tapi, kalau kita kerucutkan, banyak kejadiannya di San Miguelito," ujarku menggunakan telepati agar Kak Arka pun tahu. Aku menggeser tablet dan memperlihatkan sebuah foto pada Kak Raffa yang sibuk dengan laptop. "Waktu aku cari-cari lagi, ternyata ada beberapa sosmed yang upload Pahlawan Super bertopeng gitu. Walaupun ada di distrik lain, tapi paling banyak di San Miguelito ini."

"Hah? Bertopeng? Kayak Spider-Man gitu?" tanya Kak Arka dari arah kemudi.

Aku mengangguk, padahal ia tak melihat. Refleks saja melakukannya.

"Orca?" gumam Kak Raffa. "Paus pembunuh, mamalia air, tapi bisa dijinakkan. Tapi, apa itu ada huhungannya dengan kekuatannya? Kalau iya, berarti dia Pengendali Air. Dan, kalau dia sampai diincar Izumi Akabane, sepertinya dia memang Nobles, ya."

"Akan sangat menguntungkan kalau kita bisa bertemu langsung dengan mereka berdua dalam satu kejadian. Jadi, akan mempersingkat waktu dan efisien. Apa... aku ciptakan momen -"

"Nggak, nggak," tolak Kak Raffa cepat, sebelum aku mengakhiri kalimatku. Aku pun langsung menatapnya kesal. "Inget, kamu belum boleh mengeluarkan suara sampai tiga hari ke depan. Bahkan, kalau kamu bersin pun kalau bisa nggak usah bersuara."

"Segitunya banget." Aku pun merengut kekanakkan. Aku mengambil kembali tablet-ku, lalu kembali mencari informasi. Aku tidak serius marah padanya. Tapi, memang aku kesal pada diriku sendiri yang seperti ini. Kekuatanku Omnipotence, tapi tubuhku tidak bisa menampungnya.

Bukan hanya berdasarkan topeng yang digunakan, tapi pakaian serba hitam putih yang menjadi ciri khas, serta genangan air di tempat yang tak wajar menjadi bukti. Bukan hanya disorot oleh  masyarakat melalui media sosial mereka, tapi juga disorot oleh departemen keamanan distrik maupun provinsi. Tapi, tampaknya belum sampai menjadi berita negara.

Orca ini sepertinya tinggal di San Miguelito, karena banyak kasus kriminal kecil hingga sedang di distrik itu yang terselesaikan olehnya, entah penangkapan pelaku kejahatan, entah penyelamatan korban. Tentu saja Orca ini adalah orang baik, tapi tentu tidak ada jaminan bahwa dia mau bergabung dengan Generasi Kedua. Resiko pertaruhan nyawa yang lebih besar harus ia hadapi. Tapi, jika dia mau bergabung, akan sangat membantu kami ke depannya.

Perjalanan dari Santiago ke Panama City, tepatnya San Miguelito, akan membutuhkan waktu hampir enam jam kalau perhitungan kami tidak salah. Sepanjang perjalanan, yang aku lakukan hanya menonton video-video tentang Orca, tindakan heroiknya yang dibahas di majalah atau situs sekolah, atau komentar orang-orang yang menonton atau membaca tentang semua hal tersebut.

Kami memasuki Panama City sekitar jam 2 siang. Kami sempat berhenti beberapa kali di perjalanan untuk bergantian menyetir, menikmati suasana dan pemandangan, atau sekedar menghirup udara segar. Kebetulan juga, tidak ada yang namanya kemacetan di sepanjang perjalanan kecuali ketika kami harus berhenti karena lampu lalu lintas.

Kami pun mencari penginapan di distrik tersebut, tidak di San Miguelito karena di sana tidak ada penginapan. Semua penginapan berpusat dekat pantai. Ada penginapan murah yang mengizinkan kami untuk memesan sagu kasur tambahan. Kak Raffa dan Kak Arka menggunakan kondisiku untuk mendapatkannya. Pemilik hotel itu memang tidak begitu ramah, tapi sepertinya memang itu tabiatnya saja.

Setelah memasuki kamar, kami memutuskan untuk istirahat sejenak.

"Mau nyari sore ini, atau besok?" tanya Kak Raffa.

"Gimana kalau kita nunggu sampai ada kejadian aja?" usulku. "Kalian berdua harus istirahat, satu-dua jam aja. Tidur, gitu. Kalian, 'kan, dari tadi ganti-gantian nyetir."

"Oke," tanggap Kak Arka, seraya menjatuhkan tubuhnya pada kasur tambahan yang diberikan penginapan ini. Ia yang memilih kasur itu.

"Kakak tidur juga," kataku pada Kak Raffa, lalu aku berbaring di kasurku dengan posisi tengkurap sambil menatap tablet dan televisi secara bergantian. Aku harap, aku bisa menemukan informasi terkini.

DHUARRR!!!

Aku tersentak dan spontan mengangkat kepala. Bukan hanya aku, tapi Kak Raffa dan Kak Arka pun melakukan hal yang sama. Padahal, belum ada lima menit semenjak aku menyuruh mereka berdua tidur dan beristirahat.

"Cepet juga," gumam Kak Arka yang sudah beranjak dari kasur dan tampak bersiap-siap.

Aku pun turut turun dari kasur, lantas pergi ke arah pintu kaca yang memiliki balkon yang menghadap kolam renang terbuka. Aku membuka pintu tersebut, lalu berjalan ke balkon. Ada kepulan asap di depan sana, tak tampak jauh. Tapi, aku yakin itu bukan ledakan karena gas, tangki bensin, atau kecelakaan normal.

"Timur," batinku. Kalau dari yang aku ingat, ledakan itu berasal dari timur hotel ini. Mungkin sekitar 100-200 meter. "Aktifkan penglihatan jarak jauh dan tembus pandang selama 15 detik," sebutku dengan suara pelan berbisik. Kalau ketahuan Kak Arka, apalagi Kak Raffa, aku bisa dicekik.

Seperti menggunakan binokuler, aku pun hanya perlu memicingkan mata beberapa kali hingga akhirnya aku bisa melihat apa yang kira-kira terjadi di sana. Dan, benar saja. Itu bukan ledakan yang natural. Sebab, ledakan itu bukan berasal dari pemukiman, melainkan dari arah lahan parkir truk-truk logistik. Ada lahan luas di sana, dan ada dua orang yang sedang bertarung di sana.

"Orca dan Izumi!"

"Orca dan Izumi!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Silent: The Cursed Voice [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang