"Tidurlah."
BRUK! BRUK!
Tampaknya, mereka sama sekali tidak belajar. Bisa-bisanya mereka tetap termakan kekuatanku. Jika mereka ingin menyergap dan menangkap kami, mereka harus berpikir apa yang bisa aku lakukan agar misi nereka sukses.
"Ayo!"
Kak Arka menggendongku di punggungnya. Kami pun bergegas keluar dari kamar itu dengan membawa barang-barang kami yang memang tak banyak. Kami pergi ke tangga darurat, karena elevator bukan pilihan tepat. Kami pun berada di luar motel dan langsung bergegas ke mobil, tapi yang kulihat adalah sepuluh orang mencoba menghancurkan mobil kami.
"Sh*t!" umpat Kak Arka pelan namun penuh penekanan.
Aku melihat berkeliling, mencari mobil yang bisa kami gunakan untuk sekedar melarikan diri. Tapi, tak ada. Motel kecil ini sepi, dan itu agak aneh. Padahal, seingatku, motel ini sempat ada beberapa mobil yang terparkir. Apakah kami memang dijebak untuk ke sini? Atau, ini adalah kebetulan yang menyebalkan?
"Ekhem!" Aku berdeham. Tenggorokanku sudah sangat sakit, bahkan menelan ludah pun seperti ada paku di sana. Tapi, kami tak punya pilihan lain. "Teleport to White Cap HQ."
"No, Any-"
BLIP!!
Dan, kami pun tersedot dalam ruang dimensi teleportasi. Terasa begitu singkat, namun sesungguhnya memakan waktu bermenit-menit. Jika kondisiku sehat, mungkin bisa lebih cepat. Lokasi kami belum begitu jauh dari Markas White Cap, sekitar 10 kilometer. Tapi, aku tak terpikirkan tempat lain yang aman untuk kami. Meski harus mundur, tapi ini kebih baik.
"Uhuk! Uhuk! Ohoek!" Sesuatu termuntahkan saat aku batuk. Sesuatu yang tak sempat aku tampung seluruhnya. Sesuatu yang berupa cairan hangat dan agak lengket.
"Astagah!" seru Kak Arka. "Be-Bertahan sebentar. Oke?" Dan, ia pun berlari masuk ke dalam fasilitas kesehatan White Cap.
Kesadaranku benar-benar menipis. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingku. Aku tidak mendengar apa yang Kak Arka katakan, atau lakukan. Aku hanya sempat merasa tubuhku diangkat, lalu dibaringkan. Aku melihat lampu-lampu yang bergerak, tapi aku tak bisa mendengar apapun. Mataku bahkan semakin terasa berat. Meski sehsrusnya aku bertahan agar tidak tidur, tapi aku tak mampu menahannya lebih lama lagi.
Aku pingsan.
🧡
Ketika aku membuka mata, aku mendapatkan suasana yang tenang dan tentram. Aku sampai sempat melupakan apa yang telah kami lalui sebelum ada di tempat ini. Sayangnya, aku sendirian. Tidak ada Kak Arka, tidak ada siapapun. Di kamar rawat ini, aku sendirian. Tanganku terpasang infus, wajahku tertutup masker oksigen, bahkan pakaiabku telah berganti menjadi pakaian pasien.
Aku harap, semua baik-baik saja. Yah, meski aku tahu itu mustahil.
Setelah mencoba bangkit meski tubuhku masih sangat lemas, aku berhasil menemukan tombol darurat yang ternyata ada di lengan brankar. Aku menekannya, lantas menunggu dengan perasaan dag-dig-dug. Aku harap, seseorang yang masuk adalah orang yang aku kenal. Aku tidak bisa menggunakan suaraku untuk sementara, tenagaku pun belum kembali sepenuhnya.
Cklek.
Pintu kamar yang tak begitu besar ini terbuka. Seorang dokter perempuan dengan pakaian operasi di bagian dalam dan jas putih di bagian luarnya masuk dengan langkah santai, disusul seorang perawat perempuan yang tubuhnya agak lebih berisi. Perawat itu tersenyum ramah, tapi dokter perempuan itu tampak sinis. Atau... dia memang memiliki mata yang tajam.
"Begus kamu sudah sadar," ujar dokter itu. Terkesan ketus. "Pacarmu dan Generasi I panik bukan main. Kamu tidak sadar lebih dari 3 hari." Ia menatap jam tangan di tangan kirinya, jam tangan seperti milik laki-laki. "Sekarang jam 5 pagi. Mereka masih di asrama, nanti akan kami beritahukan kalau kamu sudah sadar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent: The Cursed Voice [HIATUS]
Fiksi IlmiahWaktu itu umurku masih 3 tahun saat Perang Dunia III terjadi. Papa dan Mama meninggal dalam insiden itu, tepat di depan mataku dan Kak Rafa. Dan, pada insiden itu, aku hampir kehilangan kepalaku. Sebuah tebasan menggorok leherku, memutus pita suara...