"KAMU GILA, LAVANYA?!"
Keras sekali suara yang dilontarkan Kak Rafa begitu ia membaca pesanku yang berisi pemberitahuan mengenai rencana perjalananku yang membuatku tak akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat. Ada jeda 15 menit dari aku mengirim pesan itu sampai ia membacanya, dan langsung saja dia menghubungiku dan berteriak demikian.
"KAMU MAU APA, HAH?! NGGAK CUKUP BIKIN KAKAKMU INI NGGAK BISA TIDUR TIGA HARI INI? KAMU MAU BUAT KAKAKMU INI MATI KENA SERANGAN JANTUNG? IYA?!"
Rasanya, semua ucapannya itu terdengar seperti tulisan kapital dan penuh tanda seru di setiap akhir kalimatnya. Benar-benar mengerikan jika Kak Rafa sudah marah, dan selama ini hanya tiga kali ia mrlakukan hal seperti itu. Namun, aku rasa, ini yang terhebat dan membuatku takut.
"Siapa yang ada di deketmu sekarang?" tanyanya. Kali ini, tidak dengan nada tinggi, namun suaranya terdengar dingin sekali.
"Arka, Kak," sebut Kak Arka saat aku mendekatkan ponselku ke wajahnya.
Sekian detik Kak Rafa tak mengeluarkan suara. Suara nafasnya pun tak terdengar. Kebisingan di belakangnya juga tak terdengar, entah ia ada di mana. "Arka, kenapa lo nggak ngelarang Anya tentang rencana ini?"
Kak Arka sempat melirik padaku, dan aku hanya mengangguk sebagai isyarat. "Sorry, Kak. Bukannya gue nggak mau ngelarang, tapi ini keputusan Anya sebagai Pemimpin Nobles Generasi Kedua. Kami harus nyari anggota, menghentikan Hybrid, dan lainnya."
"Apa Anya yang mengajukan diri untuk jadi pemimpin?"
Aku mengangguk semangat.
"Iya, Kak," jawab Kak Arka sejurus kemudian. "Kak, gue janji bakal lindungin Anya dan bawa dia pulang ke Indo tanpa kurang sedikit pun. Kalau gue ngelanggar janji gue, lo boleh apain gue sesuka lo," ungkapnya serius.
Tentu saja aku tak suka dengan ucapan Kak Arka yang sepihak itu. Aku menatapnya sinis dan ingin sekali memakinya. Aku tak minta ia untuk menjagaku.
Lagi, Kak Rafa menjeda. "Anya, dengerin gue," kata Kak Rafa padaku. "Gue nggak bisa ngelarang lo lagi. Gue tahu kalau hal kayak gini cepat atau lambat bakal terjadi, karena kekuatan lo besar, jadi tanggung jawab lo juga besar. Tapi, gue mau lo janji, lo bakal baik-baik aja dan pulang tanpa kurang sedikit pun. Janji?"
Aku mengangguk.
"Dia berjanji, Kak," sebut Kak Arka mewakili.
"Good." Kak Rafa kinu terdengar lebih tenang. "Kalian harus saling menjaga. Jangan berbuat yang nggak-nggak. Kalau kalian sampe pulang bawa bayi -"
"Nggak akan!!" potong Kak Arka cepat. "Udah, lah! Lo ngomongnya makin ngaco, Kak. Mending lo tidur. Gue matiin telponnya." Cepat-cepat dia merebut ponselku dan mematikan panggilan Kak Rafa sepihak. "Apa-apaan, sih, kakak lo itu, Nya!" gumamnya. Meski terdengar marah, aku bisa melihat ia tersipu. Ia bahkan menggunakan 'lo-gue' saking kesalnya.
Aku terkekeh-kekeh. Aku tahu Kak Rafa tidak seserius iti mengatakannya. Tapi, bukan berarti dia hanya sekedar mengganggu Kak Arka.
Kak Arka menghela napasnya berat. "Jadi, kita mau kemana sekarang?"
Aku membuka aplikasi peta dengan ponselku dan mengaksesnya menggunakan jaringan internet. "Aku udah memetakan tujuan kita berdasarkan lokasi Hybrid yang aku dapat dari fasilitas. Dan, tujuan utama kita cukup deket, kok, dari Rhode Island ini." Aku menghubungkan ponselku ke mobil ini. Mobil yang telah diberi fasilitas canggih. "Jadu, kita ikutin arah itu aja. Toh, aku juga nggak tahu jalan di sini," tambahku.
"You're heading to Boston. It will take 1 hour and 45 minutes..."
"Boston, ya?" gumam Kak Arka. "Kayaknya, aku tahu siapa Hybrid di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent: The Cursed Voice [HIATUS]
FantascienzaWaktu itu umurku masih 3 tahun saat Perang Dunia III terjadi. Papa dan Mama meninggal dalam insiden itu, tepat di depan mataku dan Kak Rafa. Dan, pada insiden itu, aku hampir kehilangan kepalaku. Sebuah tebasan menggorok leherku, memutus pita suara...