Pertama. Penginapan Fort Lewis yang aku tempati terbakar habis. Jelas itu ulah Neo Extreme untuk menghilangkan jejak mereka, dan jelas bahwa Mbak Ariesta tidak terselamatkan. Bahkan, semua pengunjung, pemilik penginapan, dan pegawai penginapan pun tidak ada yang selamat. Total korban diperkirakan 30 orang.
Sempat aku menggunakan Psikometri, dan tak banyak informasi yang aku dapatkan karena kondisiku memburuk sesaat kemudian. Tapi, memang benar bahwa Mbak Ariesta telah meninggal, dan pelaku pembakaran adalah seorang Manusia Super yang memiliki kekuatan Pengendali Api, entah siapa karena sosoknya tertutup hoodie.
Jadi, saat itu juga Kak Arka langsung membawaku dan Arthur pergi ke Rhode Island. Meski belasan jam harus kami tempuh, namun sungguh tak terasa. Mungkin karena sepanjang perjalanan itu aku tidur, jadi aku benar-benar tidak merasakan momen saat perjalanan. Tahu-tahu, aku sudah bangun di dalam kamar mansion yang sangat mewah ini. Jujur saja, kamar ini seluas apartemenku dan Kak Rafa.
Kedua, ini tentang Goo Joon. Karena itulah, saat ini semua Nobles Generasi Pertama, Kak Arka, dan Ma'am Alexa juga ada di kamarku. Tepat saat aku bangun, mereka langsung berkumpul di sini. Dan, melihat Goo Joon tampak sedikit berbeda dari cara ia menatap dan menundukkan kepala, aku tahu bahwa ini akan menjadi pembicaraan tentangnya.
"Kamu tahu siapa orang yang berkhianat tempo hari, bukan?" tanya Ma'am Alexa.
Aku mengangguk, lalu melirik pada Goo Joon yang berdiri agak ke belakang. "Goo Joon-ssi," sebutku. "Tapi, aku tahu dia melakukannya bukan karena ingin. Dia melakukannya karena pengaruh kekuatan atau dipaksa dan diancam, atau sejenisnya. Benar, bukan?"
Ma'am Alexa mengangguk. "Syukurlah kalau kamu sudah mengerti," ungkapnya. "Dan, sebenarnya, Mr. Goo Joon melakukannya bukan untuk mengincar Nobles Generasi Pertama saja, tapi juga untuk membawamu pada Neo Extreme."
Aku mengangguk. "Makanya, Alice, Charles, dan Ray menyuruhku pergi, bukan? Itu permintaan Goo Joon-ssi, bukan?"
"Benar," jawab Ma'am Alexa, lalu ia mengusap puncak kepalaku. "Kamu anak yang cerdas, atau kamu memang tahu karena kekuatanmu?"
"Aku menduga," jawabku.
"Cerdas! Brilian! Menakjubkan!" seru Maffuane. Lantas, ia mendekat dan memelukku yang masih setengah duduk di kasur. "Kamu menggemaskan sekali. Masih kecil tapi lebih menggemaskan dari Alice waktu itu."
Aku hanya terkekeh-kekeh meresponnya.
"Lalu, ada hal lain yang harus kami bicarakan, meski rasanya ini terlalu berat untukmu yang baru saja bangun setelah tiga hari tidur." Kali ini, yang bicara adalah Kak Alice.
Aku menganggukkan kepala. "Aku baik-baik saja," ungkapku. "Ini tentang apa yang aku temukan di fasilitas itu, bukan?"
"Iya," jawab Ma'am Alexa.
"Tentang Hybrid," sebutku mengawali. "Mereka berhasil menciptakan 10 orang Hybrid dengan kode angka sebagai identitas mereka," ungkapku.
Tiba-tiba saja Kak Arka mendekat ke sisiku, berdiri di sebelahku. Ia menarik kerah bajunya sampai memperlihatkan sedikit dadanya yang baru kali ini kulihat, dan itu sangat indah.
Oh, astagah! Mesum sekali!
"Saya salah satu Hybrid itu."
"Hah?!"
"Serius?!"
"Kamu mata-mata, ya?!"
Kak Arka menggeleng pelan, tetap terlihat tenang. "Pak Syaiful tahu identitas saya. Tapi, saya berani bersumpah kalau saya bukan mata-mata," ungkapnya tanpa ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent: The Cursed Voice [HIATUS]
Ciencia FicciónWaktu itu umurku masih 3 tahun saat Perang Dunia III terjadi. Papa dan Mama meninggal dalam insiden itu, tepat di depan mataku dan Kak Rafa. Dan, pada insiden itu, aku hampir kehilangan kepalaku. Sebuah tebasan menggorok leherku, memutus pita suara...