Aku menatap semua murid di kelas ini sambil menarik nafas dalam-dalam dengan gugup. "Aktivasi Bahasa Isyarat," sebutku dengan bersuara. "Selamat pagi. Perkenalkan, saya Lavanya. Kalian bisa memanggil saya Anya. Saya datang dari Indonesia. Kekuatan saya adalah Kutukan Suara. Karena itu, saya selalu bicara dengan Bahasa Isyarat. Saya sudah mengaktifkannya untuk kalian, sehingga kita bisa berkomunikasi dengan maksimal. Salam kenal." Aku membungkuk dan tersenyum pada belasan murid di kelas ini, kelas khusus murid berukur 15-17 tahun.
Murid akademi ini tidaklah banyak, sehingga pihak sekolah menggabungkan murid-murid dalam kelas umur dan memberikan pendidikan setara. Kelas Senior adalah kelas untuk murid berumur 15 sampai 17 tahun, dan di atas itu adalah Kelas Superior untuk mereka yang akan bersiap untuk terjun dan membaur di masyarakat umum. Di kelas ini, jumlah murid hanya 17 orang. Mengingat umurku belum 15 tahun, seharusnya aku masuk kelas Pre-Senior. Tapi, aku harus bersama Ara.
"Wuah! Daebak!" seru seorang perempuan dengan kulit putih bening dan mata bulat. Tubuhnya tegak, pundaknya mungil, rambutnya hitam bergelombang. Ia seperti artis Korea Selatan yang marak akhir-akhir ini. "Apa semua yang kamu ucapkan dengan suaramu akan terjadi?"
Aku mengangguk. "Bahkan, jika aku mengatakan 'tidur', maka semua orang di sini bisa saja tidur. Jadi, aku harus hati-hati dengan menjadi bisu," jelasku.
"Mengerikan! Apa itu artinya kamu bisa membunuh seseorang hanya dengan satu kata?" Kali ini yang bertanya adalah seorang laki-laki dengan rambug merah seperti daun musim gugur.
Aku mengangguk. "Tapi, aku juga tidak bisa banyak bersuara. Waktu kecil, saat Perang Dunia III, leherku hampir putus." Aku menurunkan kerah tinggi yang menjadi dalaman seragam ini. Meski di pulau ini adalah musim gugur, tapi dinginnya sudah cukup menyiksaku. "Aku juga menderita asma. Jadi, tidak bisa memaksakan diri berlebihan."
"Ooo ~" gumam beberapa murid.
"Kenapa saya tidak bisa membaca pikiran Anda?" tanya seorang laki-laki berkaca mata dengan rambut klimis dan ekspresi dingin. Dia seperti kutu buku dan tipe orang kaku yang menyebalkan. "Apakah Anda melindungi pikiran Anda? Apa Anda mata-mata?" Ia benar-benar mencurigaiku.
Aku tertawa sambil menggeleng. "Aku datang karena misi dari Generasi I ke pulau ini untuk bertemu Ara dan meminta bantuan. Jaga-jaga, aku melindungi pikiran agar tidak ada yang tahu masalah di luar pulau ini. Bagaimana pun juga, kalian aman di sini, dan saya nggak mau membuat kalian cemas."
"Apa di luar pualu ini, situasinya tidak bagus?" tanya perempuan dengan rambut yang dikuncir dua tinggi. Ia terlihat menggemaskan, apalagi dengan tubuhnya yang mungil dan wajah Asia itu.
Aku mengangguk. "Iya, sangat tidak bagus untuk Manusia Super. Neo Extreme, Hunted, dan lainnya. Mereka berniat melakukan sesuatu. Ah, tapi kalian tidak perlu khawatir. Saya akan membuat pulau ini tidak terpengaruh, kalian akan aman." Aku tersenyum. "Aku menjamin dengan suaraku."
"Oke, oke. Sisanya dilanjutkan nanti saja, saat jam istirahat. Kita harus lanjut pelajaran, bukan?" kata Profesor Galvin White, guru yang menjadi wali kelas ini, sekaligus pengajar Pertahanan. "Kalian bisa ganti pakaian olahraga, lalu kita pergi ke gedung olahraga. Hari ini kita akan praktik untuk pertahanan, sesuai pelajaran minggu lalu. Saya tunggu di sana dalam 15 menit."
"Baik, Profesor."
Murid-murid pun beranjak dari kursi mereka sambil membawa tas kecil yang mungkin berisikan pakaian olahraga mereka. Aku tidak akan ikut, karena aku baru saja keluar ruamh sakit dua hari lalu. Aku pun tidak akan beraktivitas fisik selama di sini. Sekolah bukan tujuanku, tapi mungkin aku akan menikmatinya. Tampaknya, murid-murid di sini adalah orang-orang yang baik dan menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent: The Cursed Voice [HIATUS]
Ciencia FicciónWaktu itu umurku masih 3 tahun saat Perang Dunia III terjadi. Papa dan Mama meninggal dalam insiden itu, tepat di depan mataku dan Kak Rafa. Dan, pada insiden itu, aku hampir kehilangan kepalaku. Sebuah tebasan menggorok leherku, memutus pita suara...